Bahkan sudut pandang kapitalistik, dengan melakukan upaya komodifikasi yang melakukan perubahan atas nilai guna menjadi nilai tukar nominal untuk barang maupun jasa hadir pada wilayah ritual keagamaan. Hari raya agama-agama lengkap dengan perayaannya adalah periode persemaian agenda kapital.
Hal tersebut dibahas dalam buku Frengki Napitupulu, 2020, berjudul Sinterklas Natal dalam Jerat Kapitalisme. Kajian kritis yang tampak mengemuka dari temuan Frengki terkait dengan degradasi makna hari raya Natal dengan munculnya figur ikonik Sinterklas, tidak lain merupakan labirin dari kapitalisme melalui perangkap konsumtif.
Perilaku konsumerisme, menjadi instrumen efektif dalam mengembangkan format ekonomi meski menggunakan ornamen yang bercorak agama. Dalam bentuk riil, kita dapat melihat hari raya justru dikonstruksi untuk menjadi waktu efektif dalam mendorong kehausan publik untuk terus berbelanja.
Aneka program sale dan diskon adalah bagian dari bentuk serta cara yang dibuat, maka tidak mengherankan ketika ruang berbelanja menjadi sesak seiring waktu-waktu di hari raya.Â
Manusia kehilangan esensi dasar makna hari raya untuk kemudian justru membentuk ulang pemaknaan baru atas hari raya, yakni liburan dan berbelanja.
Kesederhanaan dalam Pandemi
Pandemi menciptakan ruang yang secukupnya dalam makna subsisten. Pada batas minimal untuk tidak hidup secara berlebihan. Kita yang dipaksa bekerja dan belajar dari rumah mulai menyadari bahwa segala kemewahan itu ada batasnya.Â
Segala yang tampaknya menjadi keinginan dibatasi pada lapis kebutuhan dasar, karena hidup yang sehat dan selamat dari pandemi menjadi jauh lebih penting.
Bahwa kemudian di era pandemi denyut konsumerisme tetap diproduksi dengan penciptaan ekonomi berbalut hobi, studi kasus sepeda Brompton, ikan Cupang, tanaman Monstera Si Janda Bolong, merupakan buntut yang tidak akan pernah usai dari dunia yang telah terformasi menjadi sedemikian kapitalistik.
Disitulah manusia diuji dan ditempa untuk mendapatkan kesadaran kritisnya, meski secara ambigu berada didalam ruang simulasi yang terkonstruksi sudah sejak jauh hari sebelumnya. Melalui renungan kritis kita menetapkan ulang tujuan hidup dan pencapaian dalam tahap kehidupan yang dijalani.
Kita adalah manusia modern yang memiliki akal budi -homo sapiens, sekaligus makhluk berpikir dan pembelajar -animal rationale, dalam pandemi kita menyusun ulang tata kehidupan baru setelahnya dan bersiap untuk pandemi selanjutnya.Â