Pandemi ternyata tidak bisa menghentikan korupsi. Wabah seolah tebang pilih. Sementara kegiatan publik terhenti dan dipaksa untuk berhenti, tetapi nafsu dan ambisi kekuasaan termasuk perilaku buruknya justru terus terjadi.
Rompi oranye itu seolah dipergilirkan, tinggal tunggu siapa lagi yang akan memakainya esok lusa. Sesuai akar kata corruptio yang bermakna rusak dan busuk, maka aktivitas yang ditujukan bagi upaya memperkaya diri sendiri tersebut memang berbau busuk dan menimbulkan dampak kerusakan turunan.
Indikator korupsi akan terkait dengan tingkat demokrasi. Pada negara dengan tingkat demokrasi yang rendah dicerminkan melalui indeks korupsi yang buruk. Ruang publik disesaki kepentingan sempit politik praktis, dan korupsi menjadi jalan bagi akumulasi modal konsolidasi kekuasaan.
Urat akar korupsi jelas menggerogoti sektor ekonomi dan pembangunan. Ekonomi berbiaya tinggi terjadi akibat bobot korupsi, menyebabkan inefisiensi. Publik yang harus menanggung biaya tambahan akibat ongkos kutip siluman. Belum lagi menyoal kualitas pembangunan yang tidak sesuai standar karena beban biaya tidak terduga.
Agregat kumulatif dampak korupsi menyebabkan tingkat kesejahteraan publik menjadi terabaikan. Padahal cita-cita dari kehidupan bersama dalam format bernegara adalah mewujudkan roh kesejahteraan sebagai kebaikan bersama -bonum commune. Korupsi berlaku sebaliknya, menempatkan kepentingan individu diatas segalanya.
Eksklusivitas Elit
Kemewahan dan ruang eksklusif seolah menjadi jarak pembeda elit dari publik yang menyerahkan legitimasinya. Para wakil publik itu dalam makna denotatif benar-benar mewakili ukuran kesejahteraan publik. Simak saja barang bukti yang ditampilkan, mulai dari tas hingga jam tangan bermerek yang mengukuhkan nilai identitas diri para elit.
Berkaca pada karya Baudrillad, Consumer Society, 1970 maka dunia dimasa kapitalisme lanjut membalik konsep mode produksi menjadi era konsumsi, dengan begitu secara filosofis proses komodifikasi yang mengubah nilai guna menjadi nilai tukar, bertransformasi menjadi nilai simbol alias merek.
Dalam kajian itu, Baudrillad menyebut hasrat memiliki lebih dari sekedar pemenuhan kebutuhan dasar, hal ini terjadi sebagai konsekuensi terbentuknya medan hiperrealitas dimana semua realitas berubah menjadi simulasi yang semu. Konsumsi merek barang dan produk yang terasosiasi pada kemewahan adalah hak prerogatif milik elit.
Jangan kaget bila tas jinjing dengan merek Hermes kemudian tersangkut dan menjadi alat bukti dari kasus korupsi. Barang mewah yang diproduksi terbatas ini menghadirkan kondisi kelangkaan, bersamaan dengan itu nilai simbol diproduksi sekaligus dikonsumsi. Tas berlogo kereta kencana itu perlambang kemewahan.
Di tengah kelesuan ekonomi dan kehidupan yang serba sulit masa pandemi, ternyata tidak membuat para pemangku kekuasaan memiliki sense of crisis, tentu memprihatikan. Hermes sesungguhnya juga representasi mitologi dewa pembawa pesan, kali ini kita membaca pesan kuat bila elit berbalik dari kepentingan publik.