Puncak ekspresi dari kemampuan berbahasa manusia, tertuang melalui karya sastra. Karena itu pula sastra disebut sebagai produk budaya. Tidak hanya menjadi sarana artikulasi dari sebuah tujuan, tetapi juga memiliki vibrasi makna yang bersifat mendalam dan reflektif.
Pekan lalu, sebuah buku Komunikasi Sastra, Syair, Pantun, Puisi dalam Perspektif Islam, 2020, karya Heri Budianto, hadir menghiasi khasanah ruang sastra nusantara. Siapa sangka, bila penulisnya yang dikenal pakar komunikasi politik itu tampak lihai menjalin rangkaian kata puitis.
Tengok penggalan syair Insan Khilaf, h.10,
Kita itu insan khilaf dan pendosa..
Mustahil tak ada kita yang tak berdosa..
Kita dicipta bersamaan kebaikan dan keburukan..
Itulah manusia..
Bahkan dalam potongan yang pendek tersebut, resapan maknanya justru meluas. Terutama pada upaya penemuan kembali fitrah kehidupan, dan hakikat manusia dalam kemanusiaan. Termasuk pertalian antara makhluk dan Sang Khalik.
Mungkin juga karena latar adat Melayu, maka ada pula bibit pujangga yang tersemat pada penulisnya. Bingkai khazanah pemikiran Heri Budianto, Doktor Ilmu Komunikasi dan Direktur Eksekutif PolcoMM Institute yang lebih banyak mengurusi persoalan politik tanah air, ternyata mampu mengalir melalui karya sastra.
Meski begitu, lintasan sastranya pun kritis pada ranah kehidupan politik, ragam tema dalam bukunya tersebut memperlihatkan bentang pemahaman yang meluas dari penulisnya. Lihat saja pada syair, Kekuasaan, h.49.
Kekuasaan itu memang memikat..