Kerangka pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan layaknya game theory yang mengilustrasikan pola zero sum game dengan logika perimbangan kalah-menang.
Tata laksana kehidupan bersama merumuskan tentang masa depan, membangun kerjasama dan menciptakan ruang kolaborasi, menjelma sebagai positive sum game yang disebut dalam preambule konstitusi sebagai menuju pintu gerbang yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Bila kemudian pejabat publik lebih mengutamakan pola-pola pendekatan legal, dengan diksi, "silahkan untuk diuji di Mahkamah Konstitusi", maka pernyataan yang seolah tampak formil tersebut menyiratkan pola penyelesaian dalam format kalah-menang. Tidak salah, tetapi mendapatkan catatan tersendiri oleh publik sebagai kegagalan membangun resonansi empati.
Di bagian akhir, publik bukanlah benda mati melainkan lokus sosial yang bergerak secara dinamis, mereka hidup dalam dimensi utuh jiwa serta raga. Keterputusan -disconnection antara para pemangku kebijakan dan publik, terjadi ketika tidak terbangun "rasa" untuk saling percaya -trust.
Terlebih karena ketidakmampuan untuk menempatkan urgensi dan prioritas agenda kerja di tengah pandemi, termasuk mengandaikan publik tidak lebih sebagai objek statis dan data statistik semata.
Semestinya dalam ranah kebijakan publik, maka publik ditempatkan tidak hanya menjadi objek melainkan sekaligus subjek, yang dengan itu akan terlibat dan berpartisipasi aktif. Di situ makna emansipasi dan kemerdekaan sejatinya terimplementasikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H