Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bu Tejo di Negeri Influencer

25 Agustus 2020   23:28 Diperbarui: 26 Agustus 2020   10:12 1721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemunduran Demokrasi 

Berbagai kenyataan baru hadir bersama perkembangan ruang digital, termasuk kegagalan para pakar menghadirkan pencerahan. Peran kelompok intelektual dan akademisi justru semakin terdegradasi. Kalah lihai dibandingkan mereka yang lincah bermain di sosial media.

Keberadaan para pemimpin opini ini, tidak pelak menjadi pemberi pengaruh yang bisa dimanfaatkan untuk mempertahankan status quo, membalik posisi, menciptakan informasi keliru hingga memainkan berbagai instrumen digital untuk mencetak persepsi publik pada suatu isu tertentu. 

Para pelaku digital ini, mampu mengemas konten dan konteks bersesuaian dengan kecenderungan publik yang terbatas dalam melakukan validasi informasi.

Tidak hanya itu, keahlian digital juga dimanfaatkan untuk melakukan pembungkaman dengan berbagai metode, mulai dari doxing -menyebarkan data pribadi, hingga melakukan teror digital, seperti hack akun sosial media hingga meretas portal laman digital. Varian baru dari ancaman fisik berubah menjadi cybercrime.

Sekurangnya upaya untuk melakukan serangan digital dialami Tempo.co yang berulang kali berbicara tentang perlunya penertiban aktivitas para buzzer dan influencer. 

Lebih jauh lagi, sesuai dengan cermatan ICW dalam rilis terkait anggaran pemerintah untuk key opinion leader, menemukan kesimpulan penting (i) penggunaan influencer menjadi shortcut untuk mempengaruhi opini publik, (ii) memperburuk kesehatan demokrasi, sebagai akibat dari kehilangan substansi demokrasi, seiring dengan tertutupnya diskusi publik.

Benang merah dari simpulan sejenis juga diungkapkan LP3ES melalui rilis Pasang Surut Demokrasi Indonesia, mengutip Ziblatt & Levitsky, dalam buku How Democracy Die -2018, bahwa ancaman terhadap demokrasi terjadi ketika (i) komitmen atas aturan main semakin melemah, hingga (ii) terbatasnya ruang gerak kebebasan sipil serta media. Kedua hal tersebut menjadi realitas dari dunia politik kita hari ini, terlebih ruh oposisi dari mekanisme politik formal menghilang ketika konsolidasi koalisi kekuasaan terbentuk.

Pada kajian LP3ES, pembenahan harus sesegera mungkin dilakukan agar demokrasi terselamatkan, meliputi perbaikan pada kerangka institusional, struktural hingga aspek kultural dan agensi. 

Lebih jauh lagi, temuan LP3ES sekaligus memperingatkan kita tentang cengkraman oligarki yang semakin mencuat. Terlebih ketika kekuasaan mulai melindungi dan membentengi dirinya dengan buzzer serta influencer. Sekali lagi karena gerik laku Bu Tejo adalah wajah kita!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun