Model komunikasi yang terbentuk dari relasi sosial berbentuk kerumunan -crowd adalah kecenderungan untuk terjadinya bias informasi. Poros sumber kebenaran ada dalam kelompok pertemanan, hal-hal lain di luar itu adalah mereka yang berbeda -liyan, diartikan sebagai musuh.
Problemnya kemudian, yang sering diajukan sebagai tesis pembenaran, adalah tentang hak dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat maupun opini secara terbuka, termasuk melalui media sosial. Jadi, semua tampak seperti di hutan rimba belantara, bebas berteriak sesuka hati.
Padahal sekurangnya ada koridor yang menjadi garis pembatas, (i) aspek etika, berkenaan dengan sejauh mana pendapat yang dilontarkan itu mengandung unsur kebenaran hakiki? atau (ii) aspek kepentingan publik, yakni apakah terdapat dampak positif dari pernyataan yang disampaikan kepada khalayak ramai atau justru sebaliknya?.
Dengan begitu, batas kebebasan berpendapat akan terlihat dari besaran nilai kebenaran yang termuat dalam logika rasional yang disuarakan, bukan sekedar penguatan faktor emosional semata, sekaligus melihat hasil akhir dari kebermanfaatan atas pernyataan yang dibuat.Â
Kini label penggiat media sosial, seringkali dilekatkan pada kriteria individu yang kerap mencuatkan kontroversi serta polemik, dibanding memberi literasi dan edukasi.
Memahami Pandemi
Era pandemi belum bisa didekati secara utuh. Kita masih merumuskan pengetahuan baru tentang wabah. Pada durasi kegelapan ilmu pengetahuan tersebut, maka segala hal nampak memiliki probabilitas kebenaran, terlebih bila disambungkan dengan kerangka harapan. Tidak pelak, kalung anti Corona, hingga ramuan herbal tertentu dianggap mewakili jawaban atas persoalan pandemi.Â
Problem pandemi, menjadi sebuah model pertanyaan pilihan berganda, tanpa ada kepastian jawaban spesifik. Manusia butuh waktu dan jeda untuk mempelajarinya. Karena itu pula, publik berada dalam tekanan psikologis ketakutan dan ketidakpastian di masa depan.Â
Upaya anti sains untuk mengambil shortcut kunci jawaban pandemi, hanya efek psikis kepuasan sementara, bersifat plasebo yang kosong substansi.
Pada tenggang waktu yang panjang dalam penantian obat dan vaksin tersebut, publik terdistorsi oleh berbagai informasi yang tidak hanya keliru tetapi menyesatkan. Situasi kekacauan -chaos, terjadi ketika disrupsi informasi berlangsung secara massif melalui hoaks, misinformasi dan disinformasi -infodemic, tanpa proses seleksi kurasi dan verifikasi.Â
Di media sosial keberlimpahan informasi adalah sebuah anugerah sekaligus bencana. Menjadi bermanfaat bila informasinya valid dan dapat diandalkan -reliable, tetapi bisa berubah menjadi bencana bila informasinya palsu dan bohong. Publik perlu diajak untuk menguatkan literasi dalam memilih serta memilah konsumsi informasi.