Wajah dunia di era pandemi akan berhadapan dengan sentimen nasionalisme yang sempit. Hal itu semakin menjelaskan tentang derajat yang tidak seimbang antar negara. Negara maju sangat mungkin memiliki hak istimewa, dibanding negara berkembang dan terbelakang.
Semakin jelas, bahwa vaksin dan obat yang jika dikalkulasikan dalam kerangka komersial, akan memberi ruang terbuka bagi negara-negara kuat dalam kapasitas ekonomi, untuk memperolehnya terlebih dahulu, bahkan berhak memesan.
Situasi ini mengakibatkan semua negara sibuk mencoba mencari penawarnya sendiri-sendiri. Seolah tidak ada jalan lain. Sesungguhnya, dalam penanganan masalah kesehatan, merentang dari aspek preventif -pencegahan dengan menggunakan vaksin, aspek kuratif -pengobatan, hingga promotif -perubahan perilaku sehat.
Beradaptasi dengan perubahan, adalah mekanisme alamiah manusia. Tentu kategori new normal bisa diklasifikasikan dalam lingkup tersebut, meskipun usaha untuk terus mendapatkan vaksin dan obat tetap harus diupayakan.
Di bagian akhir, pandemi sesungguhnya memberikan ruang reflektif bagi kita, selain bersabar dan menunggu. Pandemi mengajarkan kita tentang membangun rasa kemanusiaan dari seluruh umat manusia, karena virus ini telah menjadi masalah global sekaligus ancaman bagi eksistensi manusia.
Mengutip dr Tedros Adhanom, selaku Direktur WHO, maka kontribusi terbesar guna menyelamatkan seluruh sejarah kehidupan manusia dari persoalan pandemi, akan sangat bergantung pada solidaritas dan kemampuan berkolaborasi. Termasuk menyoal kehendak berdisiplin, dan melepaskan beban stigma.Â
Dengan seluruh kemampuannya, manusia sejatinya tengah menanti Godot, yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Kemampuan untuk memenangkan perang melawan pandemi, sesungguhnya akan terletak pada kemauan untuk mengenali dan mengembangkan sifat dasar kemanusiaan itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H