Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Indonesia Terserah dalam Perang Semesta Melawan Pandemi

18 Mei 2020   06:55 Diperbarui: 19 Mei 2020   21:02 2137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas medis bersiap di ruang perawatan Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. | Sumber: ANTARA Foto/Heru Sri Kumoro

Bahu membahu. Gotong royong. Pilihan kata itu indah ditulis, namun sulit dilakukan. Tidak semudah bersilat kata, maknanya mendalam. Butuh pengorbanan, untuk sampai pada tujuan bersama.

Pandemi hadir tanpa pernah disangka. Meski banyak kisah wabah di masa lalu, yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran. Kita tidak juga mampu untuk segera belajar dengan cepat.

Setelah sekian lamanya dikurung, dalam pemenjaraan fisik, melalui physical distancing, manusia memang sulit menghindar dari sifat alamiahnya untuk menjadi Homo socius.

Jika situasi kali ini, dianggap layaknya sebagai palagan perang. Maka dalam ruang pertarungan melawan jasad renik yang tidak kasat mata, konsep perang semesta menjadi solusi yang dapat diandalkan.

Wabah ini menjadi musuh bersama, yang harus segara dikalahkan. Model karantina dan isolasi, adalah siasat jangka pendek, untuk memperlambat penularan, menjadi upaya melandaikan kurva -flattening the curve.

Perang Bersama

Jika mengacu pada pilihan strategi perang semesta, maka skemanya mempergunakan kemampuan seluruh rakyat, ditambah mekanisme gerilya. Kenapa gerilya? karena logistik perang terbatas, harus efektif.

Durasi perang yang tidak pernah diketahui kapan akan berakhir, membuat kita menyadari bahwa perang ini akan berlangsung lama. Perlu nafas panjang, serta menjadi tugas kita bersama.

Dengan begitu, perang semesta sekurangnya dilakukan dalam dua ranah besar, yakni: (i) melaksanakan perang kecil yang dinamis, tertuju pada sasaran, dan (ii) butuh dukungan publik.

Pada perang fisik, hal ini mungkin sekali dijalankan. Kehendak bersama dan perasaan senasib sepenanggungan, memudahkan sikap kerja sama. Kini berbeda, musuhnya seolah nampak imajiner. Terdapat kesulitan baru, egoisme.

Meski tidak terlihat nyata, namun dampak wabah terbilang dahsyat. Konfirmasi penularan, hingga laju kematian menghadirkan situasi mencekam. Perang psikologis terjadi, sendi kepercayaan digoyahkan.

Pada perang semesta, setidaknya; (i) ada kesatuan komando yang memberi arah gerak. Disamping itu, (ii) para pemimpin kelompok, menjadi role model yang ditiru. Hingga akhirnya (iii) solidaritas ditumbuhkan, masyarakat membantu melindungi para pejuang.

Kontribusi dan pelibatan massa di dalam konsep perang gerilya, terletak pada kepatuhan untuk mengikuti instruksi, dan memberi ruang perlindungan yang dibutuhkan dari para pejuang perang. Bagaimana kita saat ini? Apa sumbangsih kita?

Indonesia Terserah

Dalam perang modern menghadapi pandemi, kita diliputi banyak ketidakpastian. Terdapat segudang ketidaktahuan. Sampai kapan ini akan terjadi? Seperti apa bentuk kehidupan kita nanti?

Setelah seluruh kegiatan dihentikan secara paksa. Jalanan yang sebelumnya sepi, mendadak mulai berdenyut. Ajakan untuk berdamai, hingga hidup berdampingan, terdengar disuarakan. Diksi new normal dimaknai sebagai kemampuan beradaptasi.

Padahal, virus terus mengembangkan kemampuan bermutasi, untuk masuk ke ruang hidupnya, di dalam tubuh manusia. Jika berharap pada vaksin dan obat penawar, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Tidak bersabar adalah sifat manusia. Sebagian dikonstruksi karena problematika ekonomi. Apa boleh, harus diakui kapasitas kita tidak cukup mampu untuk mengatasi persoalan ini. Seleksi alam.

Menuju herd immunity? Bisa jadi, meski berisiko besar. Perjalanan mudik dilarang, tetapi bandara udara sudah mulai dibuka. Pasar-pasar kembali bergeliat. Interaksi massal terjadi, bahkan rela berjejal untuk prosesi penutupan restoran cepat saji.

Kebal dan bebal? Tanda pagar keprihatinan #IndonesiaTerserah berkumandang di jagat maya. Tenaga medis bersuara, mereka garda terdepan pelayanan, sekaligus penjaga gawang dari kesadaran kolektif pencegahan penularan wabah.

Perang kali ini, seharusnya menempatkan publik sebagai elemen paling penting, untuk berdisiplin menjaga kesehatan bersama. Edukasi penting dalam membangun kesadaran. 

Sementara itu, regulasi perlu ditegakkan, guna menciptakan kebiasaan. Kekuasaan harus mampu merumuskan prioritas kebijakan, yang ditujukan untuk melindungi segenap penduduk.

Tanda pagar #IndonesiaTerserah memberi isyarat, bahwa; (i) kita tengah berspekulasi dengan bahaya, (ii) satire bagi kegagalan pengelolaan urusan publik, (iii) kepedihan melihat pengabaian publik, hingga (iv) hilangnya harapan bersama untuk saling menjaga, kini kembali menjadi tanggung jawab individual.

Para insan kesehatan, tentu tidak bisa mundur ke belakang. Terikat sumpah profesi dan kode etik profesional. Tetapi mereka kehilangan dukungan. Perang semesta semestinya menjadi perang bersama!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun