Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

StartUp dalam Kerapuhan Pandemi

5 Mei 2020   14:30 Diperbarui: 5 Mei 2020   14:34 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ringkih. Pandemi membuka secara jelas duduk persoalan mengenai ketahanan bangsa ini. Bukan hanya ketahanan fisik, sekaligus kerentanan sosial kehidupan bernegara. Dalam kajian semiotik, wabah menjadi alarm yang mengingatkan.

Ketahanan adalah tentang kemampuan berhadapan dengan guncangan dan perubahan. Merujuk bahasa formal, ketahanan dinyatakan sebagai kekuatan untuk menghadapi tantangan, ancaman dan gangguan.

Selama ini, kita berfokus pada upaya membangun ketahanan ekonomi, politik, sosial, budaya hingga ideologi. Bersamaan pandemi, tidak hanya ketahanan fisik yang mengalami persoalan, dalam perspektif kesehatan, tetapi juga semua dimensi kehidupan.

Pada bidang kesehatan, ada persoalan terkait ketersediaan sarana kesehatan. Tidak hanya itu, terdapat kebutuhan untuk memperbaiki rasio tenaga kesehatan sebagai pemberi layanan. Belum menyoal mahalnya alat kesehatan dan bahan baku farmasi.

Seketika, wabah menghentikan denyut kehidupan komunal. Hiruk pikuk aktivitas di ruang publik, diharuskan mengkonversi diri menjadi kegiatan di ruang privat, di rumah-rumah. Roda kehidupan melambat, dampaknya terasa secara ekonomi.

Menguatkan Modal Sosial

Kontraksi terjadi, kebingungan para pelaku usaha, dibarengi dengan kegelisahan akan nasib para pekerja. Praktis dipaksa berhenti bekerja. Perumahan tidak terhindarkan, demikian rumusan ekonomi manajemen untuk bertahan. Reduksi biaya.

Disisi lain, benih baik untuk tidak menyerah pada keadaan juga mengalami perubahan. Kolaborasi dan donasi publik digalang. Konser amal ramai dilakukan. Kehendak gotong royong dimanifestasikan dalam bentuk kebaikan. Modal sosial ini perlu dikembangkan.

Tapi syahwat politik juga, yang sesungguhnya membelah kekuatan sosial tersebut. Harapan bersama untuk keluar dari kemelut wabah ini, adalah ruang untuk bisa merefleksikan hal yang paling mendasar dari tujuan bersama, yakni memastikan eksistensi kehidupan itu sendiri.  

Medan politik kita tumpul dalam bergerak, kalkulasi kepentingan politik menjadi lebih dominan. Urusan kekuasaan dan menguasai, itu perihal yang sering diperhitungkan. Tidak heran banyak problem yang menyertai penanganan masalah pagebluk ini. Distrust terjadi.

Ricuhnya data bantuan sosial, kisruh kartu prakerja, belum lagi tumpang tindih kedudukan staf khusus milenial, adalah warna-warna yang tidak dibutuhkan dalam membangun konsentrasi peperangan melawan jasad renik tak kasat mata ini. Tapi itulah realitas yang tampak.

Bila tidak segera diperbaiki, situasi gangguan tersebut akan merenggangkan jarak kepercayaan publik. Padahal pada saat yang bersamaan, kita tengah berupaya untuk merajut kembali modal sosial yang sempat koyak karena kontestasi politik sebelumnya.

Mengejar Valuasi 

Kartu pra kerja adalah janji kampanye, dan pandemi mempercepat implementasinya. Bentuk sebagaimana situasi produk kampanye, berbeda dengan apa yang terjadi saat ini. Bantuan langsung hidup sehari-hari dibutuhkan, lebih dari sekedar pelatihan online.

Format up skill dan re skill, akan bisa dilakukan pada situasi normal ketika lapangan pekerjaan bertumbuh. Di tengah kontraksi akibat wabah, dunia industri melakukan adaptasi pasar dengan penutupan dan penundanaan pengembangan bisnis.

Kekuatan sektor digital yang direpresentasikan melalui keberadaan start up, tidak ayal menimbulkan permasalahan baru. Ojek online terkategori sebagai kelompok rentan, kondisi itu berbanding terbalik dengan perusahaan rintisan yang kini telah berganti berstatus decacorn.

Kelompok start up lain, yang seharusnya melandaskan diri pada konsep economy sharing dan social entreprenur, gagal membuktikan kontribusinya ketika berhadapan dengan kondisi krisis, sebagaimana pandemi. Harapan generasi socio digital, kembali ke karakteristik pencari laba.

Padahal, berbagai perusahaan start up itu mempunyai kemampuan untuk berkontribusi dengan melakukan pengelolaan big data yang update. Hal itu dapat dikombinasikan dengan data pemerintah yang cenderung kerap tidak sinkron. Terlalu bernafsu mengejar valuasi.

Menggunakan basis database yang besar, serta traffic site yang tinggi, dimungkinkan ada nilai samping yang masih bisa diperoleh. Start up digital berhitung pada growth dari jumlah ekosistem, jadi penguatnya adalah faktor pengkali jumlah user. Amat disayangkan.

Disisi lain, publik menanti bagaimana akhir pandemi. Sementara keruwetan pengelolaan urusan publik, masih dicampuri konflik kepentingan ekonomi dan politik, tidak pernah berhenti. Kemanusiaan dan penyelamatan nyawa, justru menjadi urusan yang tertinggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun