Berkeliling kampung. Hadi terpaksa mengelilingi seluruh kampung bertelanjang bulat, sembari merapal mantra. Tidak kuasa menolak. Berminggu lamanya, kampung itu terserang wabah. Semua kembali pada kebiasaan nenek moyang.Â
Hadi yang ditunjuk, untuk melaksanakan ritual upacara adat mengusir wabah, hasil rembuk para tetua kampung. Dengan begitu, Hadi harus menahan malu, bila sampai dirinya dalam telanjang terlihat Iyah, cinta pertamanya di ujung kampung.Â
Potongan kisah itu, tertuang dalam kumpulan cerpen Sapardi Djoko Damono, Malam Wabah, 2013. Situasi wabah, membuat manusia berupaya dengan segala akalnya, untuk membalik keadaan, guna mengalahkan wabah. Mencari jawaban bahkan dari pengalaman masa lalu.
Jika hal itu dikaitkan dengan uraian Charles Piddock, dalam Selidik National Geographic: Wabah, 2012, maka prinsip karantina adalah format paling dasar, dari mekanisme mengatasi wabah sejak dahulu.Â
Tindakan karantina ditujukan untuk mencegah persebaran. Di era modern, ilmu pengetahuan memberi dukungan untuk menghadapi pandemi.
Sains adalah alat bantu, mengatasi musuh yang tidak terlihat. Pengalaman menghadapi wabah di masa lampau, memang terjadi dalam keterbatasan sarana. Kini kita bertumpu, pada aspek medik dan teknologi.
Kuasa Pengetahuan
Ternyata tidak semudah itu. Pengetahuan didominasi oleh para penentu kuasa di dunia. Situasi yang tidak berimbang dari kemampuan antar negara, membuat posisi setiap negara berbeda menyikapi wabah.
Dalam buku Siti Fadilah Supari, Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung, 2008, dipersoalkan mengenai keterbukaan informasi global, yang seharusnya terjadi secara seimbang.Â
Pada realitanya memang tidak demikian. Kekuatan organisasi kesehatan dunia, yang dikoordinasikan oleh WHO, menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan pihak-pihak yang mendominasi.Â
Pada buku tersebut, ketimpangan muncul bersamaan  dengan pengiriman data dan informasi atas kasus flu burung, dari negara-negara terdampak. Tidak adanya transparansi, atas hasil kelanjutan penelitian menimbulkan kecurigaan. Korporasi bisnis bermain.
Mengutip Michel Foucault, pengetahuan menciptakan kekuasaan, dan begitu pula sebaliknya secara dialektik. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan yang membentengi kepentingannya.
Kini dunia berkejaran dengan waktu. Seluruh negara, berlomba mencari solusi mujarab dari pandemi. Corak sebuah negara dan kemampuan pemerintahan, terlihat dalam model antisipasi mengatasi Covid-19.
Separuh Pengetahuan
Tampak pontang-panting. Semua negara terjangkit pandemi Covid-19, mengalami kondisi yang hampir tipikal pada awalnya. Pembedanya adalah respon kelanjutan, atas kemunculan wabah di masing-masing negara. Pengetahuan dan kekuasaan membedakan.
China sebagai episentrum awal wabah, mulai menggeliat, berangsur mengalami kemajuan menahan persebaran Covid-19. Menggunakan komando sentralistik, ditunjang teknologi.
Gelombang kedua di Eropa dan Amerika, masih terus bertambah. Pilihan yang ditempuh Eropa dengan penguatan basis sistem kesehatan, dan pengelolaan data menunjukan keberhasilan di Jerman dan Skandinavia. Sementara itu Spanyol dan Italia masih berhadapan dengan situasi pasang naik.
Pada belahan lain, Amerika mengalami peningkatan yang tidak tertahankan. Justru sibuk mencari kambing hitam permasalahan. Trump kembali membuka ruang seteru, dengan menuding kesalahan China.
Pilihan untuk menghentikan bantuan bagi WHO, adalah bentuk lain dari upaya Trump, guna menghukum pihak yang dianggap berseberangan, dan tidak tunduk pada supremasi Amerika.Â
Sebagai negara super power, Amerika di bawah Trump memang memposisikan kembali perannya sebagai polisi dunia. Wabah menunjukan wajah dari karakter asli manusia. Kekuasaan membentuk watak.
Dominasi sepihak, memuaskan ego. Sementara, terdapat kebutuhan kolaborasi warga dunia, karena keterbatasan pengetahuan akan wabah. Hanya dengan bersama, problem pandemi dapat dihadapi. Kita mencari pengetahuan bersama secara utuh.
Renungan Kekuasaan
Pada kondisi wabah, dibutuhkan konsistensi untuk menjalani apa yang diyakini sebagai kebenaran rasional, bersumber pada pengetahuan. Sebagaimana Albert Camus dalam Sampar, 1947.
Keteguhan Bernard Rieux sebagai seorang dokter, untuk tetap bekerja dan mendiagnosa pasien dalam situasi wabah, adalah cermin dari ujian rasionalitas. Absurditas berhadapan dengan humanitas. Maka pengetahuan bersanding dengan rasionalitas.
Tetapi manusia memang makhluk unik. Dalam balut kekuasaan, pengetahuan dapat diubah menjadi kengerian bagi manusia lain. Sebagaimana keheranan Viktor Frankl, dalam Man's Search for Meaning, 1946 pada peran pengetahuan yang justru dipergunakan untuk menyempurnakan kekejaman.
Pada akhirnya, manusia akan kembali pada jati dirinya, untuk mampu memberi dan melakukan pemaknaan, di setiap tahap kehidupan. Termasuk pada kesengsaraan serta penderitaan, yang membentuk makna harapan dan kemanusiaan.
Kini, tantangan bagi kekuasaan dimanapun adalah meringkus ketakutan, berbekal pengetahuan yang utuh, sebagai hasil kerja bersama umat manusia. Akankah harapan itu akan tercipta? Melalui periode wabah kali ini, pengetahuan akan kembali disusun, untuk mengatasi ketidaktahuan serta ketidakpastian.
Tentu hambatan terbesarnya, kembali pada diri manusia itu sendiri, akankah kita mempergunakan kekuasaan dan pengetahuan bagi tujuan bersama, atau justru pada akhirnya mempergunakan pengetahuan dalam upaya melanggengkan kekuasaan ber-status quo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H