Kepentingan yang menyatukan. Kita memang dipertemukan dalam irisan kepentingan. Ekosistem melakukan pengaturan diri, saling menegosiasikan kepentingan, untuk kehidupan bersama. Lebih dari kepentingan pribadi.
Tapi pada kenyataannya, situasi yang dialami jauh berbeda. Ada jarak yang senjang antara apa yang seharusnya -das sollen, dengan realita sesungguhnya -das sein. Jauh panggang dari api.
Cermatan itu ditangkap melalui rangkaian tulisan, Nurudin dalam buku, Agama Saya adalah Uang, 2020. Kumpulan artikel yang dibukukan tersebut, mencerminkan situasi sosial politik yang aktual, sesuai dengan perkembangan di tanah air.
Dalam pengamatan Nurudin, sekurangnya ada tiga ranah yang mengalami situasi perubahan. Pertama: ranah individu, terdapat pergeseran nilai pribadi. Kedua: ranah sosial, terjadi perbenturan nilai bersama. Ketiga: ranah negara, menjadi arena pertarungan nilai kepentingan politik.
Menggunakan majas ironi, apa yang tengah terjadi dalam keseharian kehidupan bangsa ini, berada pada jalur yang berbeda, dari tujuan pembentukan yang menjadi dasar pendiriannya.Â
Persis sebagaimana Bung Karno pernah mengatakan, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuangan kalian lebih berat karena melawan saudara sendiri". Itulah tantangan kita bersama jaman now, melunakkan ego pribadi, untuk tujuan lebih besar dalam kehidupan bersama.
Integrasi Kemajemukan
Bangsa yang majemuk, dengan segala potensi yang dimilikinya, itulah Indonesia. Perubahan terjadi secara dinamis, dari waktu ke waktu. Tantangan yang tidak sama, mengubah watak dan perilaku publik.
Heterogenitas yang awalnya menjadi modal kekayaan bangsa, menjadi sebuah persoalan baru. Dalam demokrasi, perbedaan pendapat dimungkinkan, semua bisa bersuara.Â
Secara bersamaan, ruang bersama terdominasi oleh keriuhan serta kebisingan, suara aspirasi yang murni justru menjadi tersamar. Ada kepentingan yang hendak dibawa. Semua menjadi tampak jumawa.
Kita mendadak kehilangan kemampuan merasa. Sulit untuk melihat kemenangan bersama, kecuali bagi keuntungan pribadi. Pragmatisme terjadi dalam bentuk paling vulgar, terkurung diksi aku dan liyan.