Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pandemi dalam Balutan Krisis Komunikasi

12 April 2020   11:20 Diperbarui: 12 April 2020   11:24 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saling terkait. Situasi pandemi bukanlah persoalan berdimensi tunggal. Dalam momentum pandemi, tidak terdapat keistimewaan waktu. Butuh kecepatan penanganan, bersifat dinamis. Perlu kesigapan.

Secara keseluruhan, kemampuan kita merespon pandemi masih terbilang lemah. Ketidaksiapan dalam melakukan langkah-langkah antisipasi, perlu segera dikoreksi. 

Banyak sisi yang dapat disoroti, termasuk kontribusi para pengajar Ilmu Komunikasi melalui buku, Krisis Komunikasi dalam Pandemi Covid-19, kolaborasi Fajar Junaedi, dkk, 2020. Patut dipertimbangkan.

Kehadiran buku ini, terbilang sebuah gerakan cepat untuk bisa membantu melakukan perbaikan bagi pihak-pihak terkait, khususnya dalam bidang komunikasi.

Kajian dalam buku ini terbagi atas (i) reaktualisasi konsep komunikasi, (ii) implementasi proses komunikasi publik pada periode krisis, hingga (iii) publik dan media dalam sengkarut informasi.

Relevansi aktual dari tema yang dibahas, seolah memberi petunjuk bagi upaya pembenahan ke depan. Pandemi tampaknya belum memberi isyarat kapan akan berakhir, dengan begitu masih banyak hal yang perlu dilakukan bersama.

Krisis Kepercayaan

Melalui pernyataan besar krisis komunikasi, rekan-rekan ilmu komunikasi menyampaikan pesan akan pentingnya pengelolaan data dan informasi dalam lalu lintas komunikasi, pada masa-masa krisis penuh kegentingan. 

Tentu saja, tata kelola komunikasi krisis perlu diupayakan, agar tidak terjerumus pada kondisi krisis komunikasi. Hal terakhir ini, tentu dapat berimplikasi lebih luas. 

Balutan krisis multidimensi, berpotensi terjadi sebagai sebuah skenario terburuk, manakala kepercayaan, tidak juga tumbuh di tengah publik. Kita tengah berpacu dan berkejaran dengan waktu.

Kita semua tentu berharap serta memiliki tujuan yang sama untuk segera keluar dari pandemi. Dan atas hal tersebut, maka sekurangnya terdapat beberapa ruang yang harus dimenangkan sebagai medan pertempuran.

Diantaranya, Pertama: ruang medik, terkait aspek penanganan kesehatan terkait persebaran pandemi. Kedua: ruang komunikasi, penyampaian pesan kepada khalayak guna membangun kepercayaan. Ketiga: ruang kebijakan, tentang apa yang telah, sedang dan akan dilakukan, bagi kepentingan luas.

Ketiganya berserangkai. Tidak bisa dilakukan secara parsial satu persatu, melainkan menyeluruh. Persoalan kesehatan terkait nyawa menjadi keutamaan, harus didukung dengan penguatan literasi melalui komunikasi publik. 

Pada bagian pamungkas, kebijakan legal yang mengikat mengharuskan semua pihak untuk tunduk dan terlibat, demi dan atas nama kepentingan lebih besar. Naik level dari sekedar himbauan dan anjuran.

Peran Kolaboratif

Tanpa kemudian mundur ke belakang, kita memang harus melangkah ke depan. Banyak usulan yang dilayangkan, dalam konteks komunikasi selaras dengan suasana kedaruratan pandemi.

Pelibatan sebanyak mungkin elemen sipil menjadi modalitas sosial. Mungkin perlu dipikirkan ulang peran partai-partai politik yang gegap-gempita saat pemilihan umum, untuk memobilisasi kader. Menjadi bagian program bela bangsa dan bela negara.

Sifat kegotong-royongan, harus distimulasi agar menjadi inisiatif bersama, sebagai kekuatan utama perlawanan terhadap pandemi. Situasi yang tidak mudah, karena kita masih lekat dengan polarisasi.

Kegaduhan politik terus merembes ke seluruh persoalan, termasuk soal pandemi. Para pendengung yang ramai bersuara terus menyulut bara. Tidak mampu bertindak sebagai positif opinion leader.

Sementara itu, banyak pihak yang turun tangan, saling membantu, mewujudkan bangunan solidaritas kemanusiaan secara konkrit, melalui distribusi bantuan bagi bagi tim medis maupun publik.

Buzzer dan partai politik, masih saja menari di ruang kosong. Dikotomi pusat dan daerah juga belum terlihat padu. Hal ini terlihat dalam gesture kebijakan. Publik geram, sekaligus tidak berdaya.

Sudah semestinya, pandemi menjadi momentum kolaboratif, serta dapat dipergunakan sebagai perekat sendi persatuan, yang telah terkoyak karena ambisi politik kekuasaan. Kontribusi akademik sejawat komunikasi itu, penting untuk dicermati lebih dalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun