Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Lapis Kuasa di Balik Layar Bioskop

16 Maret 2020   14:33 Diperbarui: 16 Maret 2020   14:31 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Film itu bisa futuristik. Beberapa gambaran yang ditampilkan sebuah film, seolah mampu memprediksi kejadian sesungguhnya. Seperti keresahan akibat virus Corona hari-hari ini, terlihat mirip dengan adegan dalam film Contagion, 2011. Begitulah kuasa film bekerja.

Tulisan ini bukan tentang Corona, tetapi justru tentang bagaimana film menjadi sarana komunikasi massa yang efektif, dalam memproduksi serta mendistribusikan sebuah gagasan. Pernah melihat film Rambo, yang dilakoni aktor Sylvester Stallone? Film heroik dibuat berjilid-jilid, dimulai sejak 1982.

Kisah haru kepahlawanan Rambo, menonjolkan sisi superior negara superpower, tampil dalam ilustrasi yang seolah realistik. Bagaimana bisa satu orang tentara, bahkan yang terlatih sekalipun, mampu berhadapan dan memenangkan pertarungan dengan begitu banyak musuh? Berbekal semangat patriotik saja nampaknya hal yang muskil. Kecuali punya ilmu kebal ala debus.

Tapi itulah yang terkonstruksi. Negara superpower memiliki segalanya. Dari kumpulan para superhero sampai Rambo. Keberadaan film, tidak ayal menjadi sarana untuk melakukan konstruksi sosial, politik bahkan ideologi. Pada posisi tersebut, pusat kekuasaannya, terletak di Hollywood.

Politik dalam Produksi Film

Bila merujuk fungsi komunikasi massa, yang menggunakan media film, maka sebuah film tentu tidak diproduksi dengan bebas nilai. Tentu ada maksud yang dikandung pada keberadaan sebuah film. Khususnya dinegara perifer yang didominasi oleh negara episentrum, maka jumlah populasi menjadi indikasi pasar yang tersedia. Jelas dalam kepentingan ekonomi serta politik, sebuah film diproduksi.

Bahkan lebih jauh, menurut Andre Ikhsano, Melawan Hegemoni Perfilman Hollywood, 2020, kuasa kapital menentukan arus besar budaya massa yang akan dibentuk melalui perfilman. Hal itu terlihat melalui cermatan penelitian Ikhsano, pada soal distribusi film asing di Indonesia.

Meski saat ini jumlah film nasional, sudah mulai mengalami pertumbuhan. Tetapi kajian yang dibuat Ikhsano, memperlihatkan ketimpangan distribusi judul film, bila dibandingkan dengan film produksi Barat yang tayang pada jejaring layar bioskop.

Terdapat aspek struktural yang membuat hal itu terjadi. Pembebanan pajak produksi film, hingga monopoli jejaring layar bioskop, yang secara bersamaan menjadi aktor dominan dari impor film asing, membuat pelaku film dalam negeri tampak tidak berdaya. Situasi ini mulai sedikit mengalami perubahan dalam kurun lima tahun terakhir.

Meski demikian, film pada hakikatnya menjadi sarana ekspresi berkesenian sekaligus menjadi sarana dan alat dalam menanamkan kepentingan. Dalam hal tersebut, sebuah film merepresentasikan kepentingan ekonomi politik dari pembuat film itu sendiri. Kajian penelitian yang dilakukan Ikhsano, menempatkan film sebagai medium globalisasi. Terdapat teks pada konten dan konteks yang hendak disebarkan melalui keberadaan sebuah film.

Dalam dunia yang kapitalistik, maka film bertindak sebagai alat represi ideologis, menurut Ikhsano, sebagaimana proses hegemoni terjadi pada teori Gramsci. Film menjadi pembuka pintu imperialisme. Budaya baru ditumbuhkan sebagai budaya massa. Kebiasaan baru diperkenalkan, tidak hanya itu berbagai merek -brand dan gaya hidup baru, ditampilkan seolah tanpa jarak.

Bagi Ikhsano, perlu ada upaya counter hegemoni atas hal tersebut. Hal ini diperlukan untuk membongkar kesadaran dari budaya penonton, menjadi budaya pencipta. Situasi seperti itu, hanya akan dapat dilakukan bila terdapat kesadaran baru, bahwa kita sesungguhnya tengah terjajah oleh tontonan kita. Konstruksi kesadaran palsu yang dibentuk melalui selubung film, harus dibuka untuk tercerahkan.

Tidak mudah. Film dan politik menjadi satu kesatuan yang saling terkait. Kelas sosial yang menguasai politik akan berusaha hadir melalui produksi film. Sensor dan pembatasan adalah cara untuk dapat mereduksi film yang dianggap bertentangan dengan kekuasaan. Dalam konteks itu, perlu menguatkan kelompok civil society, guna menderaskan arus literasi sebagai upaya counter hegemoni.

Kisah Disrupsi Layar Bioskop

Ketika kita berbicara tentang film, maka lapis kepentingan terjadi dalam berbagai level. Tidak hanya Hollywood sesungguhnya. Terlebih pada pusat Asia, ada Bollywood, atau Drakor yang kini menjadi trend. Dulu sempat ada inisiasi lokal Tangkiwood, yang kemudian lenyap ditelan bumi.

Berlapisnya kepentingan itu, terletak pada dominasi berganda. Kita didominasi kekuatan asing, secara bersamaan kita didominasi pula oleh kekuatan politik domestik. Pernah tentu menjadi saksi bagaimana film seperti G30S PKI, selalu menghadirkan kontroversi politik. Terlepas dari hal tersebut adalah upaya untuk melakukan dokumentasi sejarah kebangsaan yang bersifat sepihak, perlu upaya pembandingnya.

Kini di era disrupsi, segala sesuatu mengalami tantangan akibat perubahan teknologi. Kehadiran kanal online juga mengubah bisnis raksasa bioskop serta para produsen film di berbagai belahan dunia. Kanal Youtube membuka ruang bagi akses publik, bagi pilihan jenis film independen dan hiburan yang berbeda. Bahkan kehadiran Netflix berpotensi menggusur bisnis layar bioskop.

Pada ruang-ruang publik yang tersedia, masyarakat sipil memiliki kesempatan untuk melakukan perlawanan hegemoni. Meskipun ruang publik baru, yang terfasilitasi melalui internet dan masyarakat yang berjejaring pun tidaklah netral sepenuhnya. Terlebih, karena internet bekerja berdasarkan logika kekuasaan dan kapital, tetapi dapat dimanfaatkan untuk aktifitas pencerahan.

Kehadiran sineas dan film maker muda yang idealis, dengan maksud dan tujuan yang lebih dalam untuk membuka tabir sosial dan politik, menjadikan kita memiliki harapan baik dimasa mendatang. Terbayang, Sexy Killer, sebuah film documenter tentang kerusakan lingkungan akibat pertambangan, yang sempat tayang dan menciptakan kehebohan jelang Pemilu 2019, hasil produksi Watchdoc.

Ke depan, saluran suara perlawanan hegemoni melalui film kritis itu akan berada dalam ruang-ruang maya. Bukan sekedar tontonan, melainkan juga menciptakan tuntunan yang mencerdaskan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun