Bagi Ikhsano, perlu ada upaya counter hegemoni atas hal tersebut. Hal ini diperlukan untuk membongkar kesadaran dari budaya penonton, menjadi budaya pencipta. Situasi seperti itu, hanya akan dapat dilakukan bila terdapat kesadaran baru, bahwa kita sesungguhnya tengah terjajah oleh tontonan kita. Konstruksi kesadaran palsu yang dibentuk melalui selubung film, harus dibuka untuk tercerahkan.
Tidak mudah. Film dan politik menjadi satu kesatuan yang saling terkait. Kelas sosial yang menguasai politik akan berusaha hadir melalui produksi film. Sensor dan pembatasan adalah cara untuk dapat mereduksi film yang dianggap bertentangan dengan kekuasaan. Dalam konteks itu, perlu menguatkan kelompok civil society, guna menderaskan arus literasi sebagai upaya counter hegemoni.
Kisah Disrupsi Layar Bioskop
Ketika kita berbicara tentang film, maka lapis kepentingan terjadi dalam berbagai level. Tidak hanya Hollywood sesungguhnya. Terlebih pada pusat Asia, ada Bollywood, atau Drakor yang kini menjadi trend. Dulu sempat ada inisiasi lokal Tangkiwood, yang kemudian lenyap ditelan bumi.
Berlapisnya kepentingan itu, terletak pada dominasi berganda. Kita didominasi kekuatan asing, secara bersamaan kita didominasi pula oleh kekuatan politik domestik. Pernah tentu menjadi saksi bagaimana film seperti G30S PKI, selalu menghadirkan kontroversi politik. Terlepas dari hal tersebut adalah upaya untuk melakukan dokumentasi sejarah kebangsaan yang bersifat sepihak, perlu upaya pembandingnya.
Kini di era disrupsi, segala sesuatu mengalami tantangan akibat perubahan teknologi. Kehadiran kanal online juga mengubah bisnis raksasa bioskop serta para produsen film di berbagai belahan dunia. Kanal Youtube membuka ruang bagi akses publik, bagi pilihan jenis film independen dan hiburan yang berbeda. Bahkan kehadiran Netflix berpotensi menggusur bisnis layar bioskop.
Pada ruang-ruang publik yang tersedia, masyarakat sipil memiliki kesempatan untuk melakukan perlawanan hegemoni. Meskipun ruang publik baru, yang terfasilitasi melalui internet dan masyarakat yang berjejaring pun tidaklah netral sepenuhnya. Terlebih, karena internet bekerja berdasarkan logika kekuasaan dan kapital, tetapi dapat dimanfaatkan untuk aktifitas pencerahan.
Kehadiran sineas dan film maker muda yang idealis, dengan maksud dan tujuan yang lebih dalam untuk membuka tabir sosial dan politik, menjadikan kita memiliki harapan baik dimasa mendatang. Terbayang, Sexy Killer, sebuah film documenter tentang kerusakan lingkungan akibat pertambangan, yang sempat tayang dan menciptakan kehebohan jelang Pemilu 2019, hasil produksi Watchdoc.
Ke depan, saluran suara perlawanan hegemoni melalui film kritis itu akan berada dalam ruang-ruang maya. Bukan sekedar tontonan, melainkan juga menciptakan tuntunan yang mencerdaskan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H