Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manusia dan Bencana Kepunahan

9 Maret 2020   20:01 Diperbarui: 9 Maret 2020   19:54 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ulah tangan manusia. Kerusakan di muka bumi adalah imbas dari perilaku manusia itu sendiri. Konsep pembangunan berwawasan lingkungan -eco developmentalism, kerap dilanggar. Upaya menundukan alam, kerapkali berakhir bencana alam.

Jika merujuk buku Elizabeth Kolbert, Kepunahan Keenam, Sebuah Sejarah Tak Alami, 2020, tergambar bagaimana proses menghilangnya spesies dalam ekosistem. Tidak hanya itu, daur hidup organisme, hingga berbagai flora dan fauna tidak luput dari mekanisme alam.

Kajian Kolbert nampak sedikit berbeda, bila dibandingkan dengan skema evolusi yang mengacu pada The Origin of Species ala Charles Darwin, dengan penekanan pada proses adaptasi dan seleksi secara alamiah. 

Temuan baru dari penelitian Kolbert adalah tentang dominasi antar spesies. Hal itu menunjukan bahwa proses kepunahan tidak berlangsung secara alami. Terdapat situasi yang cukup untuk menyingkirkan satu spesies, sebagai basis perkembangan spesies baru.

Apa yang hendak diuraikan Kolbert secara perlahan dalam buku setebal 280 halaman itu, adalah untuk meyakinkan kita bahwa ketidakpedulian jangka pendek atas keseimbangan ekosistem, pada akhirnya akan berpotensi menjadi petaka bagi kehidupan di masa mendatang.

Hilangnya spesies katak emas Panama, penguin besar Islandia, hingga badak Sumatera, termasuk fenomena pembentukan bentang karang besar Australia, tidak luput menjadi fokus penelitian yang komprehensif. Sebuah telaah ilmiah, yang dikemas populer.

Fase kepunahan, terjadi seiring dengan pertarungan kepentingan antar spesies. Bukan sekedar persoalan beradaptasi, melainkan tentang kemampuan untuk memenangkan kompetisi, memainkan peran secara dominan, hingga penguasaan.

Fenomena hilangnya pinguin besar Islandia, yang menjadi bahan buruan dan makanan para pelaut yang datang, menandakan ruang peta konflik terbuka. Setiap level, bahkan antar level dalam taksonomi kehidupan spesies, terjadi proses eliminasi secara dinamis

Bukan hanya spesies flora fauna, bahkan momentum kepunahan dari rintisan awal manusia yakni Homo Neanderthal, terjadi dalam model serupa. Diyakini terlibat dalam kompetisi sengit dengan sejenisnya, dalam kelompok Homo Sapiens.

Meski memiliki peta genetik yang sama, berbagai jenis spesies yang berbeda ini, bertarung dan memperebutkan batas wilayah teritorri. Dalam imajinasi yang bebas, juga sangat mungkin berebut dalam persaingan menguasai sumberdaya, termasuk memperluas pengaruh, kekuasaan dan kepatuhan.

Keseimbangan Ekosistem

Lingkungan hidup kita, adalah tempat dimana interaksi antar organisme terjadi. Pun dalam situasi kekinian, dengan kejadian pandemi global.

Perkembangan virus Corona, tidak lepas dari proses terkait relasi manusia dan alam. Lingkup ekosistem yang terganggu, menciptakan proses penularan virus secara berantai dari binatang-manusia, dan manusia-manusia.

Peta konflik terjadi antara alam, satwa bahkan mikroorganisme dan manusia. Bencana alam terjadi, sebagai konsekuensi kerja manusia dalam mengolahnya. Dampak terbesar dari kerusakan alam, adalah kepunahan relasi ekosistem.

Indikator pembangunan, yang diukur sebagai bentuk kemajuan modern, adalah standar yang diletakkan dalam kerangka modern. Sementara kemampuan untuk hidup dan menghidupi seluruh ekosistem yang bernaung di alam, adalah aspek yang hakiki.

Wacana untuk "menerabas" fungsi protokol lingkungan, atas nama percepatan pembangunan perlu dikaji ulang. Harus ada tata cara yang bijaksana. Termasuk mengadopsi kearifan budaya.

Prinsip utama dalam menjaga keseimbangan alam, adalah "mengambil dan memberi, tanpa merusak". Sebuah kondisi, yang mengharuskan terdapatnya perencanaan berupa mitigasi risiko. 

Dalam buku Arif Satria, Politik Sumber Daya Alam, 2019, maka simbiosis mutualisme antara keberadaan manusia, pembangunan dan lingkungan hidup harus memastikan proses yang berkelanjutan. 

Pusat terpenting dari pemanfaatan sumber daya alam, adalah memastikan agar tidak terjadi proses politik eksploitatif yang bersifat menghancurkan. Terlebih bila dampak pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir kelompok kepentingan.

Dengan mengaitkan kajian Satria dan Kolbert, maka sudah seharusnya berbagai bencana dan wabah yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini, menjadi penanda dan alarm bagi perhatian kita pada lingkungan hidup yang kita berdiam diatasnya.

Kepunahan bukan sekedar isapan jempol, terlebih karena ulah sembrono dalam mengedepankan pembangunan yang melupakan wawasan lingkungan. Kita menjadi bagian dari keseimbangan ekosistem, manakala hal itu dihilangkan, maka kita seolah tengah menggali lubang kubur sendiri.

Pembangunan yang bijak akan mempertimbangkan apa yang akan terjadi esok hari, dibanding sekedar soal hari ini. Lebih jauh lagi, memastikan kepentingan dari keseluruhan populasi, dibanding hanya soal rente kekuasaan oligarki.

Dimana kita berada sekarang? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun