Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Komunikasi dan Demokrasi di Warung Kopi

25 Februari 2020   11:42 Diperbarui: 25 Februari 2020   15:45 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: lakon hidup

Ngopi wuoy ngopi, Diem-diem Bae!

Pernah dengar celetukan seperti itu? Sebuah kalimat lelucon, yang mengilutrasikan bagaimana kegiatan menyeruput secangkir kopi, menjadi kegiatan menyenangkan, sekaligus membangkitkan gairah dan semangat. Sejarah kopi bahkan merentang hingga mewujud sebagai ruang publik dalam demokrasi.

Tidak pernah diketahui kapan persisnya biji hitam itu mulai dikenal manusia. Sekurangnya, dari penelusuran sejarah, justru kawasan Afrika yang mengawali perkenalan dengan jenis biji yang dianggap membangkitkan energi tersebut. Selanjutnya, persentuhan kopi melintas ke jazirah Arab.

Bahkan kehadiran kopi, sempat dianggap menjadi bagian dari persebaran Islam. Ibnu Sina seorang ilmuwan kala itu, sempat melakukan penelitian permulaan, terkait zat kimiawi yang terkandung pada kopi dan minuman yang diseduhnya. Hingga kemudian, kebiasaan minum kopi mendarat di benua Eropa.

Sepanjang kehadiran kopi, sekurangnya pada tahun 1675, kegiatan berkumpul dan meminum kopi sempat dilarang oleh Kerajaan Inggris, oleh Raja Charles II, karena berasosiasi dengan kesepakatan untuk bertindak makar. Kopi mulai memiliki nilai politik.

Lebih jauh lagi, kopi sebagai sebuah komoditas dunia terjadi secara besar-besaran di era 1700-an. Kala itu, biji dan bibit kopi mulai diperkenalkan dengan penanaman di berbagai wilayah jajahan Eropa. Di Jawa sendiri, kopi sudah mulai ujicoba tanam pada 1696. Selanjutnya Brazilia dan Jamaica.

Warkop, Ruang Publik

Kegiatan meminum kopi tidak lepas dari situasi berkumpul dan bersama. Menciptakan ruang besar secara terbuka, berbagi kehangatan. Sekurangnya, di Indonesia, sebelum era kafe pada berbagai pusat perbelanjaan, maka warung kopi menjadi identik sebagai simbol titik kumpul merakyat.

Bentuk kumpulan yang menjadikan kopi sebagai pemersatu itu, terbaca jelas dalam konstruksi Andi Mirza Ronda, 2019, melalui Komunikasi Sosial dan Demokrasi Warung Kopi. 

Uraian dari penelitian dalam buku tersebut, mencoba menarik korelasi adat budaya di masyarakat Makassar, Sulawesi Selatan, dengan bekal prinsip Tudang Sipulung -duduk berkumpul, dengan prinsip demokrasi dan ruang publik.

Fenomena berkumpul, dan minum kopi bersama, menjadi ruang egaliter di warung kopi. Ekspresi bebas diutarakan, menjadi ruang yang lega untuk menyalurkan pendapat dan opini. 

Kegiatan ini, berdasarkan hasil temuan penulis mulai kembali terjadi paska Reformasi. Fase kebebasan dari cengkraman Orde Baru, membuat semua titik pertemuan publik, menjadi ruang diskusi. Warung kopi mendapatkan panggung kembali, sebagai ruang publik.

Pendekatan yang dipergunakan, memakai perspektif Habermas mengenai public sphere. Sebuah ruang imajiner, yang tidak melulu ruang spatial, namun mampu menciptakan proses komunikasi dialogis. Dimana terjadi interaksi setara antara semua pihak yang terlibat. Partisipasi dalam demokrasi, adalah esensi yang mewakili kehendak emansipasi.

Warung kopi, adalah jembatan ide, yang menghubungkan masyarakat -civil society dan negara -state. Sebuah teritori netral yang membiarkan entitas didalamnya, berinteraksi tanpa diskriminasi. 

Percakapan di warung kopi bisa tentang apa saja yang dirasakan publik. Life world dari populasi yang kerap menjadi tema pembicaraan secara bebas. Omong kosong pun bisa sangat bersemangat dibahas.

Sesungguhnya, apa yang dirujuk sebagai ruang publik ala Habermas, sebagaimana Ronda sebutkan tidak melulu menunjuk tempat sebagaimana taman-taman kota, tetapi juga bentuk yang mewakilinya, termasuk media massa, atau yang kekinian adalah sosial media.

Tetapi warung kopi adalah bentuk yang otentik. Tempat yang strategis dan produktif untuk membicarakan persoalan publik dan mencari solusi bersama. Warung kopi menjadi ruang produktif, hal ini nampak berbeda dari kafe modern yang banyak bertebaran di berbagai mall di perkotaan.

Sementara ruang kafe jaman now, lebih menunjukan kepentingan konsumtif, menjadi sarana komodifikasi penikmat kopi, untuk memperlihatkan status sosial tampil mengemuka. Meski begitu, masih terdapat celah untuk mengoptimalkan fungsi sosial ruang publik modern ini.

Pada sebuah warung kopi, hitam pekat kopi dalam kehangatan minuman tersebut, menghantarkan kebebasan untuk berpikir merdeka. Termasuk mencari berbagai cara baru, dalam melakukan pendekatan penyelesaian masalah publik. Kopi hitam pahit itu, seolah menjadi dari pelik, rumit dan getirnya persoalan yang dihadapi publik.

Opini dan Kesadaran Publik

Dalam pandangan Ronda, sesuai rujukan Habermas, ruang publik yang genuine memunculkan ragam pendapat. Dialog demokratis, terjadi ketika partisipan yang terlibat bersifat heterogen alias majemuk. 

Bila ruang publik justru homogen, maka yang terjadi sebaliknya, berupa monolog. Warung kopi tidak urung, kerap dijadikan sebagai sarana sosialisasi kebijakan kekuasaan, alih-alih menjadi kanal bagi aspirasi publik.

Pernyataan, pendapat dan sikap publik, kerap dimunculkan melalui hasil diskusi warung kopi. Opini publik sebagai hasil resultan dari pembicaraan bersama itu, bisa dijadikan ukuran bagi kekuasaan untuk merumuskan kebijakan yang mewakili kepentingan publik.

Ukuran representasi publik, dinyatakan dalam rasionalitas yang ditawarkan. Hal ini mengacu pada komunikasi rasional, dimana pembicaraan dan konlusi hasil komunikasi terjadi secara alamiah, bahkan tidak teragendakan serta tidak dibawah tekanan ataupun pengarahan kepentingan tertentu.

Maraknya pemanfaatan warung kopi, dalam kasus penelitian Ronda, tidak urung menarik minat kekuasaan untuk mempergunakan model tersebut sebagai langkah dari proses komunikasi strategis. 

Dalam hal ini, ada upaya untuk melakukan pengambilalihan agenda, mempergunakan tematik tertentu yang bersinggungan dengan kepentingan elit dan kekuasaan, untuk melakukan persuasi publik.

Kerangka perlakuan tersebut, menciptakan hegemoni dan dominasi dari kemampuan berpikir publik. Upaya yang dilakukan dengan mengambil alih medan ruang publik, kerapkali dijalankan melalui pemilihan narasumber dan tema agenda yang mewakili kepentingan sepihak.

Kudeta ruang publik, termasuk warung kopi, dilakukan dengan berbagai upaya distrosi. Kemampuan kekuasaan untuk melakukan dominasi, terjadi selaras dengan kapasitas modal dan kepentingan yang dimilikinya. 

Bahkan dari penelurusan Ronda, tidak urung, para pemilik warung kopi pun, memiliki afiliasi serta kepentingan politik dan ekonomi yang tampak mencuat.

Karena itu, upaya yang perlu dijaga dalam merawat ruang publik agar tidak terkontaminasi dari pengotor kepentingan publik adalah dengan memastikan hadirnya kualitas tindakan komunikasi yang mengakomodir prinsip kejelasan, kebenaran, kejujuran dan ketepatan.

Pada bagian akhir, proses komunikasi di ruang publik harus mampu menciptakan sebuah pengertian bersama, guna menumbuhkan kesadaran baru. Hal tersebut penting ditekankan, untuk mampu keluar dari berbagai kungkungan kekuasaan, dalam menjawab persoalan keseharian publik.

Yuk Ngopi di Warung Kopi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun