Mewacanakan pemindahan Ibukota, adalah hal baru yang tidak pernah dibicarakan sebelumnya. Bahkan dalam janji kampanye sekalipun. Tetapi ide ini kemudian seolah mendapatkan momentum. Dengan dalih persoalan beban berat Jakarta saat ini. Plus, soal pemerataan pembangunan dari posisi tengah Indonesia, menghilangkan stigma Jawasentris.
Nampaknya anggaran yang besar bagi pemindahan Ibukota, bukan menjadi masalah. Padahal terdapat kekhawatiran, bila pemindahan fisik, belum menjawab soal pemindahan ekosistem politik serta sosialnya. Terlebih konsep pemerataan pembangunan, masih diukur melalui kriteria pembangunan fisik semata. Terlihat kehilangan unsur manusia, sebagai subjek dan objek pembangunan.
Survei ini, memperlihatkan hal sebaliknya, publik mengetahui rencana pemindahan Ibukota (85.9%) dan menyetujuinya (53.8%). Dimana secara mayoritas (45.9%) menyatakan keyakinan bila Jokowi akan berhasil membangun Ibukota di Kalimantan Timur. Sesuatu yang masih agak jauh dalam bayangan banyak pihak, terkait kemampuan finansial. Terlebih dalam kondisi anggaran yang terbilang sempit, dan neraca keuangan defisit. Ternyata bencana banjir pun, tetap mengintai di wilayah rencana Ibukota baru.
Kelahiran Dinasti Politik
Dibagian tentang Pilkada 2020, ada dua nama yang dimunculkan. Giran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution. Keduanya adalah kuda hitam dalam kontestasi politik daerah. Figur yang relatif muda ini adalah nama baru dalam blantika politik di daerahnya masing-masing. Bahkan tidak terbaca sebelumnya. Tetapi keduanya, ada dilingkar kekuasaan nasional. Keluarga dari orang paling berpengaruh dalam jabatan politik dan pemerintahan negeri ini. Trah Jokowi.
Temuan Indo Barometer menarik. Kebanyakan pihak, jusru menolak kemungkinan terjadinya politik dinasti, karena kemudian kekuasaan dipergulirkan dalam lingkup keluarga, hasil survei ini nampak anomali. Pada kasus Gibran di Pilkada Solo, (51.4%) publik mendengar informasi tentang majunya di kancah politik dari putra pertama Jokowi ini. Sebanyak (67.5%) publik juga ternyata menerima kehadirannya. Tentu ini menjadi ujian bagi partai kader seperti PDI-Perjuangan.
Sedangkan pada kasus Bobby di Pilkada Medan, hanya (33.6%) yang terpapar informasi mengenai majunya menantu Jokowi tersebut di Pilkada 2020. Serupa Gibran, (69.4%) ternyata menerima keberadaan Bobby nasution dalam pilkada. Hasil survei ini nampak perlu verifikasi ulang, karena publik banyak dibiaskan, dengan persoalan hak demokrasi, terkait memilih dan dipilih alias bertindak sebagai kandidat politik.
Kekhawatiran terbesar adalah adanya transaksi pengaruh, dengan menggunakan ranah kekuasaan, untuk mendorong majunya seorang kandidat, yang teridentifikasi berada pada potensi terbentuknya dinasti politik.
Sejatinya, hal ini bukan berarti tidak memberikan ruang kepada para anggota keluarga elit politik. Tetapi menyakinkan mereka, untuk dapat memulai perjalanan politiknya, secara sama dan setara dengan semua kader partai politik, yang dimulai dari jenjang terbawah organisasi. Kompetensi yang akan menjadi pembeda, bukan sekedar menanti diujung perjalanan dengan menggunakan jalur khusus tanpa antrian.
Benar seperti yang dikatakan Abraham Lincoln, "jika Anda ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan". Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H