Selamat Hari Pers Nasional! Meski penetapan waktu bersejarah ini, menurut sebagian kalangan perlu dikoreksi, karena menyisakan ruang historis dari konstruksi rezim pemerintahan terdahulu.Â
Setidaknya momentum tersebut, mengingatkan kita akan peran penting pers dan media, dalam struktur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menjadi pilar demokrasi. Pers, sepanjang tarikan sejarah kekuasaan, menjadi elemen penyeimbang. Karena itu, indikator kemerdekaan pers, juga menjadi tolok ukur dari kehidupan demokrasi. Sebagai bentuk ekspresi kebebasan informasi serta berpendapat.
Diberbagai negara otoriter, pers hanya berperan menjadi humas kekuasaan. Sementara dalam hubungan terbalik, pers liberal justru menciptakan potensi konflik kepentingan, serta kekacauan tata laku pemerintahan. Bagaimana kita menilai posisi pers kita kali ini? Tepat di hari jadinya.
Masihkah frame pers Pancasila dan pers pembangunan menjadi spirit pers nasional? Bagaimana menerjemahkan pers yang bertanggung jawab? Terlebih ketika terjadi disrupsi media, di era konvergensi media digital.
Sekurangnya, Dewan Pers berbicara tentang Good Journalism dalam rangka penguatan demokrasi. Hal itu memuat, kompetensi awak media dalam menurunkan pemberitaan yang berkualitas. Termasuk juga soal perlindungan tugas jurnalisme. Bentuk riil yang diajukan adalah memastikan keamanan dan kesejahteraan insan pers.
Benturan Kepentingan
Harus dipahami media pasca reformasi, mengalami guncangan kebebasan. Media tidak pernah ada di ruang hampa. Konten berjalan dalam balutan konteks. Lapis kepentingan media bertingkat.
Mendorong independensi jurnalis, secara individu dan mikro, seolah melupakan ada kepentingan bertumpuk di level makro, yang berkaitan dengan kerja organisasi, ekstra media -lingkungan sosial bahkan pada lingkup ideologi. Sebagaimana dinyatakan Shoemaker dan Reese, tentang level pengaruh serta kebijakan editorial media.
Tidak lepas dari itu, media memiliki aspek ekonomi dan politik. Karenanya, di era "kebebasan media", dimana batas abu-abu bercampur diruang ekonomi serta politik, maka menjadi sulit membedakan kepentingan media yang seharusnya menjadi ruang aspirasi publik, dari kepentingan pemilik media.
Kondisi ini jelas terlihat, pada perhelatan politik di pentas domestik. Belum lagi, menyoal tentang pemilik media, yang juga sekaligus menjadi pemilik partai politik. Teramat pelik memisahkan kedua kepentingan tersebut. Benturan kepentingan pasti terjadi.Â