Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kampus Merdeka, Sebuah Renungan

5 Februari 2020   04:19 Diperbarui: 5 Februari 2020   04:26 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepintas, dominasi akreditasi program studi nasional, secara mayoritas atau sekitar 60-70 persen, masih bertengger pada nilai standar minimal alias C. Bagaimana skema upgrading atas hal tersebut? Dikarenakan upaya peningkatan status akreditasi tidak terlepas dari aspek pembiayaan, perbaikan sarana, pemenuhan sumberdaya, hingga peningkatan jumlah peserta didik. Apa solusinya?

Peran Kolaborasi

Selanjutnya tentang, (iii) kebebasan perguruan tinggi negeri berbadan hukum. Kebijakan pada poin ini memang sangat terkait kampus negeri. Keluwesan pengelolaan perguruan tinggi di kampus negeri, dengan format badan hukum, dikhawatirkan justru menurunkan kualitas pendidikan, dengan berorientasi pada upaya mengejar pendapatan.

Selama ini, tanpa melalui pengaturan spesifik, kampus negeri telah menjadi magnet yang menarik semua potensi peserta didik. Bahkan dengan penambahan kapasitas penerimaan, dari tingkat D3 hingga S3, membuatnya seperti kapal keruk yang tidak menyisakan potensi bagi kampus swasta. Alhasil, swasta tidak kebagian mahasiswa.

Kampus negeri hendaknya diorientasikan pada peningkatan penelitian kelas dunia, peningkatan standar kelas menuju universitas berperingkat internasional, bahkan menjadi kampus bergengsi bagi mahasiswa bertalenta untuk bersaing di level dunia. Selebihnya, diserahkan pada peran swasta.

Di bagian akhir, tentang (iv) hak belajar tiga semester diluar program studi. Format ini memang menjadi jembatan bagi penyesuaian diri perguruan tinggi dengan industri. Problemnya, pilihan industri kita terbatas. Sementara kampus sedemikian banyak.

Perlu di kalkulasi soal daya tampung, atau format lain yang setara. Selain itu, jenis pendidikan tinggi kita membedakan, vokasi D3 yang dominan penguasaan skill alias keterampilan, dari sarjana jenjang S1 yang berkutat pada aspek pengetahuan atau theory based.

Kebijakan ini perlu diperkuat. Jika dimungkinkan, mekanisme kolaborasi antara pendidikan dan industri tentu akan menghasilkan dampak secara optimal. Karena itu Kemendikbud harus pula bersinergi dengan berbagai instansi terkait, dalam upaya penjabaran praktik "kampus merdeka". Seluruh konsep tersebut, harus disertai dengan model implementasi praktis dan berkelanjutan.

Tentu mas Menteri Nadiem, yang dibesarkan di dunia startup sangatlah memahami, mekanisme kolaborasi adalah upaya untuk memadukan berbagai sumberdaya melalui aktivitas bersama. kita tentu berharap turunan kebijakan "kampus merdeka" mampu benar-benar memerdekakan, dan bukan menjadi "kampus merana", karena sayup-sayup keran kampus asing dibuka, sementara bisik-bisik tentang kematian beberapa kampus swasta gurem sudah mulai beredar. Semoga. Kami menantikan langkah selanjutnya!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun