Jelang tutup tahun, dinamika politik terus menghangat. Koalisi elite hasil kompromi oligarki telah terbentuk, seiring pembentukan kabinet. Namun publik masih terbelah.Â
Kini bukan soal 01 atau 02 lagi, tapi seolah menjadi fans Jokowi dan antitesis Jokowi. Dulu cebong-kampret, sekarang kadrun-bani togog.Â
Esensinya masih sama, kedua bagian kutub publik ini saling bertentangan. Politik memang dihidupkan melalui dialektika.Â
Prosesnya berkembang melalui formula tesis dan antitesis, yang semestinya berujung pada sintesis, serta kemudian secara siklik akan menjadi sebuah tesis baru.
Hiruk pikuk ranah politik tidak berhenti dan mereda. Problemnya, sejarah memang milik para pemenang. Pada banyak kisah pertentangan serta konflik, sang kampiun yang berhak menulis riwayat kesejarahan.
Padahal, tiada pemenang tanpa ada pihak yang tersisih. Lagi-lagi disini letak persoalan terbentang. Segala hal yang berbeda dari sudut kekuasaan, lantas dimaknai sebagai serangan "kaum kalah".
Diksi keterbelahan publik, tidak juga distimulasi untuk membangun kesepahaman ulang bersama. Polarisasi justru seolah tetap dihembuskan untuk memelihara posisi antara pemenang -kami dan si kalah -kalian, bukan tentang bersama -kita sebagai entitas sosial komunal.
Mata yang Melelahkan
Setelah riuh agenda revisi UU KPK, yang direspon gegap gempita gerakan mahasiswa dengan hashtag #ReformasiDikorupsi, hingga kemudian akhirnya berjalan mulus dengan pelantikan Dewan Pengawas KPK, masih menyisakan luka pada ingatan publik.
Mendekati tenggat, setelah berulang kali perpanjangan waktu, akhirnya dipaparkan ke publik para tersangka terkait kisah Mata Novel, sang penyidik KPK yang kehilangan sebelah bola matanya.
Kasus ini terbilang lama. Tapi sebuah pengusutan kasus memang bisa lama atau sebentar, sangat tergantung banyak faktor. Bukti dan kepentingan jelas akan mempengaruhi.Â