Pilihan tema kampanye, pemanfaatan media, formulasi bentuk kampanye, menjadi instrumen teknis selanjutnya setelah mencerna medan politik yang dihadapi. Berdasarkan pengalaman elektoral, partai-partai yang mampu bertahan, merupakan organisasi politik solid dalam manajemen kepartaian, dan jeli membaca arah mata angin politik.
Defisit Demokrasi
Di bagian akhir, menarik membaca pencermatan Saiful Mujani dkk, bahwa dalam negara demokrasi kita seolah tersandera dengan kondisi defisit demokrasi. Sebagaimana istilah defisit, maka defisit demokrasi dimaknai sebagai senjangnya harapan dan kenyataan politik.
Pemilih atau kaum demokrat kritis menghadapi realitas politik yang ternyata defisit demokrasi. Bukan tidak disadari, justru karena kesadaran itu pula dihidupi oleh harapan akan masa depan politik yang lebih baik, sehingga terdapat keinginan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pemilihan.
Jarak antara ekspektasi dan realita dalam kehidupan politik itulah defisit demokrasi. Problemnya tentu akan menjadi berbalik arah menuju negativitas, bila kemudian persoalan defisit demokrasi ini tidak segera diantisipasi oleh lembaga politik formal.
Bila terus menerus situasi ini terjadi, lantas publik mulai membangun ketidakpercayaan pada jalur politik. Kemudian publik memahami bahwa pola elektoral adalah sebatas pergiliran kekuasaan diantara elite serta oligarki politik, tentu kondisinya akan berbahaya.
Kita tentu perlu mengantisipasi hal tersebut, maka perlu ada perubahan sekaligus pembenahan proses politik elektoral dan sistem kepartaian. Demokratisasi lembaga politik menjadi sangat dibutuhkan. Terlebih ketika seluruh partai politik membebek pada kekuasaan dengan bentuk koalisi dominan.
Hilangnya kubu oposisi sangat mungkin menciptakan sikap antipati publik pada politik. Ketiadaan minat pada hal-hal politik, tentu merupakan konsekuensi logis dari kondisi defisit demokrasi. Jika tidak segera diperbaiki dan menjadi sinyal merah bagi seluruh entitas dan aktor politik di tanah air, bukan tidak mungkin berakhir dengan kebangkrutan demokrasi!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H