Tahun ini merupakan periode komunikasi yang melelahkan dalam kerangka politik. Sebagai tahun politik, hingar bingar dan keriuhan kontestasi politik tidak dapat dipisahkan.
Sekurangnya magnitude politik terkonsentrasi pada periode babak pencalonan, kampanye, pemilihan serta konflik setelahnya, hingga fase rekonsiliasi.
Sebagaimana siklus tahun politik, maka efektivitas pemerintahan berseling dengan waktu penentuan kandidat. Para aktor politik, mempersiapkan diri, melakukan kompromi dan negosiasi, bersiap untuk menjadi kandidat.
Drama politik terjadi, nama para calon santer beredar secara liar, hingga pada akhirnya kutub pemilihan terbagi menjadi dua bagian, seolah sekuel dari pertarungan politik ulangan di 2014.
Memasuki periode kampanye, suhu politik semakin bertambah hangat. Masing-masing kubu menggunakan simbol-simbol politik untuk menciptakan simpati dan membangun persuasi.
Pada situasi ini, kita mencatat bagaimana sosial media dan media internet menjadi model komunikasi yang mudah dikonsumsi publik. Problemnya, tingkat literasi yang rendah, rentan dimanipulasi.
Aspek komunikasi yang berkembang menggunakan jalur retorika, hanya sebatas kemampuan mengelola perasaan -pathos. Kehilangan ruh -ethos sebagai kredibilitas dan logos yang menjadi dasar rasionalitas.
Rentetan survei politik menjadi sarana efektif untuk meneguhkan posisi masing-masing kandidat. Sulit memastikan mana lembaga survei yang bebas nilai. Semua memiliki motif dengan bias kepentingan.
Penggunaan strategi digital, diamplifikasi dengan menggunakan sosial media. Justru yang terlihat adalah kegiatan dengan memajukan sentimen dibandingkan konsep gagasan.
Hal ini merendahkan kualitas kontestasi, menjadi seolah perlombaan soliditas paduan suara dalam mendukung jagoannya tanpa pandang bulu. Rivalitas memuncak hingga akhir pemungutan suara.
Noise Berkepanjangan
Problemnya, para aktor politik memanfaatkan momentum itu tanpa terkendali. Friksi yang semakin meninggi tidak juga kunjung diredakan. Nampak semakin menabalkan konsolidasi kelompok.