Kita alergi dengan istilah cingkrang, tapi tidak gusar dengan kemampuan bernalar yang cingkrang.
Bila ditelaah dalam aspek bahasa, cingkrang adalah hal-hal yang terlalu pendek, terlalu kecil hingga tidak cukup. Ulasan detailnya bisa baca majalah Tempo kolom Bahasa, Asep Rahmat Hidayat, 7/12 tentang "Cingkrang dan Cadar".
Bahkan jika merujuk hasil PISA (Programme for International Student Assessment) untuk Indonesia tahun 2018 dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memberikan gambaran, bagaimana kinerja siswa pendidikan menengah di bidang matematika, sains dan literasi, masih berada di peringkat papan bawah.
Apa urusan skor PISA dengan cingkrang? Kita harus jujur mengakui, bila kemampuan dari aspek literasi, skill bernalar logis serta analitis para pelajar di tanah air, perlu dan mendesak untuk dibenahi.Â
Lantas apa relasinya dengan defisit BPJS Kesehatan? Kegagalan dalam merumuskan formulasi analisis yang logis, atas masalah defisit BPJS Kesehatan dari pemangku kebijakan, bisa mengakibatkan harapan akan penyelesaian persoalan tersebut semakin menjauh.
Sosialisasi kata cingkrang menjadi perlu agar kita tidak phobia, dan paham ke-cingkrang-an ada dimana-mana, pun untuk urusan berpikir.
Cekak Telusur Defisit
Memang apa yang terjadi? Salah satu yang kemudian muncul ke permukaan dari pusat kekuasaan yang menaungi program kesehatan, menyatakan bahwa terjadi over treatment -berlebihan, oleh para dokter khususnya untuk tindakan jantung dan persalinan, yang berimbas pada defisitnya kantong BPJS Kesehatan.
Kondisi ini kemudian diperburuk dengan opini publik, yang dimainkan seirama oleh para pendengung kekuasaan alias buzzer.Â
Walhasil, citra profesi dokter dan dunia kesehatan semakin ambruk serta babak belur. Bak jatuh tertimpa tangga. Pasalnya tagihan pelayanan belum lagi dibayar, alias masih pending.Â
Sementara itu, publik menuntut perbaikan layanan. Sedangkan di sisi lain, tarif jasa pelayanan belum juga berubah sejak bertahun lalu. Terlebih kenaikan premi iuran bagi peserta telah ditetapkan.
Bayangkan bahwa biaya listrik, pajak dan biaya operasional tenaga kerja mengalami pertambahan setiap tahun, lalu siapa yang mau menanggung? Adakah peran kekuasaan selain menunjuk hidung?
Sama seperti kejujuran melihat hasil PISA diatas, dalam dunia kedokteran, adakah dokter yang bertindak lancung? Cek data kasusnya di Majelis Kode Etik Kedokteran, pasti ada. Serupa halnya dengan, adakah pejabat yang cela karena korupsi? Lihat saja data kasus di KPK.
Tapi over generalisasi, dengan mengambil sampel dari sebagian kecil, untuk menuding bahagian yang jauh lebih besar adalah bentuk kegagalan bernalar, alias sesat pikir, atau gagal paham. Dalam bahasa berbeda berarti cingkrang akal.
Homo Socius dan Homo Economicus
Di bagian selanjutnya, arah arus akan bermuara pada situasi fait accompli seolah terjebak dalam perangkap, dokter adalah pekerja sosial. Padahal menjadi seorang dokter perlu banyak pengorbanan, bukan saja terkait waktu, tenaga dan pikiran tetapi juga soal biaya.
Maka jangan menutup mata, bahkan seharusnya profesi yang berurusan dengan soalan nyawa, dalam hitungan antara hidup dan mati, mendapatkan support untuk dapat dengan tenang mengembangkan kompetensinya, dalam memberikan pelayanan publik, tanpa harus pusing memikirkan isi perutnya.Â
Tetapi kekuasaan tidak hadir disitu. Kita juga harus pahami manusia pada dasarnya memiliki beragam rupa peran. Kita semua dinyatakan sebagai homo socius makhluk yang memiliki perilaku sosial dan bersosialisasi dalam kehidupan bersama. Secara bersamaan, kita juga adalah homo economicus, makhluk yang memenuhi kebutuhan hidup dengan dasar rasionalitas.
Memisahkan satu sisi definisi, menyebabkan kepincangan dalam memahami sebuah bidang profesi pekerjaan. Karena hakikat dari bekerja tidak hanya sebagai sarana aktualisasi diri, sebagaimana tahap puncak dari piramida dalam teori hirarki kebutuhan ala Abraham Maslow.Â
Tetapi perlu juga untuk jernih melihat di bagian paling mendasar piramida tersebut, yakni tentang kebutuhan dasar fisik untuk bertahan hidup.
Etika atas JaminanÂ
Problemnya, para pemangku kekuasaan kurang cukup melakukan pendalaman persoalan. Kurasi permasalahan belum mencapai tahap paling esensial, masih di level permukaan, tafsirnya tidaklah mencukupi, apalagi dengan menyudutkan pemberi layanan. Tuduhan itu menyakitkan.
Logika defisit BPJS Kesehatan adalah tentang minimnya tarif layanan, dan begitu masifnya masalah kesehatan di tanah air. Persoalan kesehatan masyarakat itu layaknya fenomena gunung es di lautan, bahwa yang nampak akan jauh lebih kecil, dibandingkan struktur gunung es yang ada di bawah permukaan.
Bila tindakan medik yang diberikan berlebihan maka dalam kalkulasi ekonomi justru merugikan pemberi layanan, karena skema pembayaran bersifat paket dengan tarif yang ekonomis. Istilahnya kendali mutu kendali biaya.Â
Pertanyaannya, siapa yang bisa mengendalikan? Karena persoalan kesehatan adalah tentang diagnosa kemungkinan. Memang ilmu kedokteran bukan matematika yang tampil dengan rumus kaku.
Andai kata kasus defisit didekati dengan sudut pandang bahwa tindakan medis yang dilakukan dianggap sebagai diada-adakan, sebagai upaya mengejar keuntungan semata.Â
Pertanyaannya apakah terdapat manfaat yang diperoleh oleh pasien sebagai penerima layanan? Lalu dimana fungsi verifikasi tindakan medis yang menjadi tugas BPJS Kesehatan?.
Kita mafhum semua ingin menjaga citra, tapi jangan berburuk sangka. Benahi hal yang paling fundamental. Apa itu? Konsepsi kita tentang BPJS Kesehatan dan keterbatasan anggaran yang dimilikinya.
Bentuk yang disepakati adalah jaminan sosial, bukan sekedar bantuan sosial. Memberi jaminan dan tidak hanya membantu. Pemaknaan filosofisnya, terdapat upaya serius untuk memberikan perhatian pada urusan kesehatan publik.Â
Jaminan itu berarti perlindungan menyeluruh, bukan sekedar meringankan beban, maka makna mendalam terdapat ada upaya lebih signifikan guna memberikan bantuan. Logikanya, jaminan pasti lebih besar dari aset yang dipinjam.
Karena itu keberadaan BPJS Kesehatan diharapkan menciptakan masyarakat yang sehat, sehingga bangsa kuat dan mampu bersaing menjadi negara maju, itu ekspektasinya. Sementara realitasnya, dana terbatas.Â
Maka aspek etis melampaui problem teknis. Dimana, kekuasaan menjadi pengambil tanggung jawab terakhir dalam menyelesaikan urusan publik. Â
Jangan sampai kita terpukau pada proses pembangunan fisik yang tampak di depan mata, sementara pembangunan manusia justru menjadi pelengkap penderita.
Ibarat pepatah, "karena cingkrang akal, cermin pun di belah".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H