Bayangkan bahwa biaya listrik, pajak dan biaya operasional tenaga kerja mengalami pertambahan setiap tahun, lalu siapa yang mau menanggung? Adakah peran kekuasaan selain menunjuk hidung?
Sama seperti kejujuran melihat hasil PISA diatas, dalam dunia kedokteran, adakah dokter yang bertindak lancung? Cek data kasusnya di Majelis Kode Etik Kedokteran, pasti ada. Serupa halnya dengan, adakah pejabat yang cela karena korupsi? Lihat saja data kasus di KPK.
Tapi over generalisasi, dengan mengambil sampel dari sebagian kecil, untuk menuding bahagian yang jauh lebih besar adalah bentuk kegagalan bernalar, alias sesat pikir, atau gagal paham. Dalam bahasa berbeda berarti cingkrang akal.
Homo Socius dan Homo Economicus
Di bagian selanjutnya, arah arus akan bermuara pada situasi fait accompli seolah terjebak dalam perangkap, dokter adalah pekerja sosial. Padahal menjadi seorang dokter perlu banyak pengorbanan, bukan saja terkait waktu, tenaga dan pikiran tetapi juga soal biaya.
Maka jangan menutup mata, bahkan seharusnya profesi yang berurusan dengan soalan nyawa, dalam hitungan antara hidup dan mati, mendapatkan support untuk dapat dengan tenang mengembangkan kompetensinya, dalam memberikan pelayanan publik, tanpa harus pusing memikirkan isi perutnya.Â
Tetapi kekuasaan tidak hadir disitu. Kita juga harus pahami manusia pada dasarnya memiliki beragam rupa peran. Kita semua dinyatakan sebagai homo socius makhluk yang memiliki perilaku sosial dan bersosialisasi dalam kehidupan bersama. Secara bersamaan, kita juga adalah homo economicus, makhluk yang memenuhi kebutuhan hidup dengan dasar rasionalitas.
Memisahkan satu sisi definisi, menyebabkan kepincangan dalam memahami sebuah bidang profesi pekerjaan. Karena hakikat dari bekerja tidak hanya sebagai sarana aktualisasi diri, sebagaimana tahap puncak dari piramida dalam teori hirarki kebutuhan ala Abraham Maslow.Â
Tetapi perlu juga untuk jernih melihat di bagian paling mendasar piramida tersebut, yakni tentang kebutuhan dasar fisik untuk bertahan hidup.
Etika atas JaminanÂ
Problemnya, para pemangku kekuasaan kurang cukup melakukan pendalaman persoalan. Kurasi permasalahan belum mencapai tahap paling esensial, masih di level permukaan, tafsirnya tidaklah mencukupi, apalagi dengan menyudutkan pemberi layanan. Tuduhan itu menyakitkan.