Demokrasi mengarah pada kuasa oligarki. Keterbelahan publik secara sengit, yang terbentuk sebagai hasil kontestasi yang ketat dan panas, tidak kunjung redam. Para aktor dan institusi politik ikut berperan.
Politisasi identitas yang dimainkan para elite, ditelan mentah-mentah oleh publik, dan bersamaan dengan itu setelah konsolidasi kekuasaan terbentuk melalui kompromi politik, maka legitimasi yang diperoleh lantas dipergunakan untuk menyumbat ekspresi politik berbeda.
Degradasi Demokrasi
Kehidupan demokrasi mengalami periode suram. Narasi NKRI dan Pancasila diperhadapkan dengan cap radikalisme. Bahkan batas indikasi radikalisme dibentuk seolah menjadi tampilan atribut berbusana: cadar dan cingkrang.
Pada posisi tersebut, sesungguhnya terjadi upaya mendiskriminasi pandangan berbeda, membentuk stereotip dan stigma yang diperlekatkan secara peyoratif pada ekspresi simbolik keagamaan.
Dengan cara berputar, kekuasaan hendak mempergunakan tangan dan otot kekuasaan untuk melakukan penertiban, serta sekaligus menegakkan keteraturan. Dan dalam hal itu, berbeda dari arus utama kepentingan kekuasaan, adalah sebuah kesalahan.
Teratur itu bermakna linier dengan tafsir kekuasaan, tidak diperkenankan adanya perbedaan, karena yang berbeda adalah bentuk ancaman bagi kekuasaan.Â
Padahal persoalan pokok yang termuat dalam rumusan kehidupan berbangsa belum juga tertuntaskan, yakni menghantarkan kehidupan merdeka, bersatu, berdaulat serta adil dan makmur.Â
Dengan menggunakan perspektif kerja kabinet yang sedemikian, sulit membayangkan adanya kemerdekaan, atau bahkan kemungkinan terciptanya persatuan, hingga pada akhirnya kita akan seolah jauh panggang dari api, dalam mencapai keadilan dan kemakmuran.
Menerka di Balik Wacana
Pada kajian komunikasi, konten tidak bisa dilepaskan dari konteksnya. Apa yang disuarakan secara berturutan dari pusat kekuasaan perlu diperhatikan terutama dalam upaya merangkai analisis wacana.
Merujuk, James Paul Gee dalam Hamad, 2004, dengan menggunakan analisis wacana yang terurai pada diskursus (d kecil) melihat aspek linguistik tekstual, dan memperhatikan Diskursus (D besar) sebagai aspek non linguistik secara kontekstual dan intertekstual, maka kita akan mampu membaca makna wacana yang tersusun.
Tema-tema diskusi elite politik yang muncul ke ruang publik bergulir secara berkelanjutan, mulai dari: amandemen UUD 1945, dengan pengembalian peran GBHN, wacana pilkada tidak langsung, hingga peluang perpanjangan masa jabatan presiden.Â