Humanoid! Bot telah menggantikan fungsi manusia sebagai customer service pada berbagai layanan customer care. Kini, seluruh dunia tengah bersiap untuk hal tersebut.
Teknologi internet dengan kapasitas 5G, digadang menciptakan revolusi baru. Babak digitalisasi dimulai, tanpa delay dan buffering, praktis tidak terjeda.
Berbagai mesin pintar -learning machine, melalui kecerdasan buatan -artificial intelligence, terkoneksi melalui jejaring internet berkecepatan super tinggi. Big data dikelola dengan algoritma kompleks.
Sesuai proyeksi Thomas Friedman, The World is Flat, 2005, bahwa dunia menjadi ruang bermain yang setara, dimana perubahan terjadi secara cepat, dengan dukungan perkembangan teknologi.
Bahkan jauh sebelumnya, Alvin Toffler, 1980, dalam The Third Wave, mengungkapkan bahwa perubahan masyarakat post-industrial akan menuju abad informasi, proses pertukaran data informasi menjadi sebuah motif penggerak utama.
Di masa depan, kendaraan autonomous yang nir pengendara telah diuji coba, dan akan segera menemukan format bentuknya, untuk segera berpacu diberbagai jalan di dunia.
Ilustrasi film futuristik Terminator yang menggambarkan manusia menjadi barang buruan dari mesin pembunuh robotik segera membayangi, mungkinkah sedemikian? Kita harus kembali terbangun dari mimpi.
Bencana Technomyopia
Kehadiran teknologi di abad ini telah hadir melalui revolusi industri 4.0, dengan konsekuensi menciptakan society 5.0, sebagai bentuk respon atas keberadaan perubahan gerak teknologi tersebut.
Pola masyarakat berjejaring terjadi karena proses spasialisasi dari media internet yang meringkas jarak, ruang dan waktu. Populasi di dunia nyata berbeda karena interaksi fisik dibatasi batas spasial. Sedangkan, direpresentasikan melalui relasi pada dunia maya, yang melaju dengan sangat cepat tidak berbatas.
"Ruang digital mengubah landscape relasi manusia. Terdapat perubahan dari cara manusia mempergunakan teknologi yang kemudian pada akhirnya mempengaruhi sikap serta perilaku hingga budaya manusia itu sendiri."
Keberadaan teknologi menjadi medium dengan fungsi mediasi. Keberadaannya sebagaimana McLuhan, 1968, konsep Global Village adalah tatanan baru dunia yang seolah menyempit layaknya sebuah kampung global karena konektivitas teknologi.
Tapi berlebih-lebihan pada potensi perubahan teknologi, serta memposisikan manusia sebagai aktor yang tersisih dari dampak teknologi juga tidaklah tepat. Sebagaimana konsep Technomyopia, Roger Fidler dalam Mediamorfosis, 2003, tentang kondisi tersebut.
Shifting digital, menciptakan Technomyopia alias rabun jauh teknologi sebagai akibat dari harapan yang sangat tinggi pada konteks dampak jangka pendek, sehingga kurang melihat konsekuensi jangka panjang.
Apa implikasi jangka pendek? Terdapat kemudahan bagi aktivitas kehidupan manusia. Lantas apa pengaruhnya bagi jangka panjang? Perubahan budaya dan nilai-nilai sosial bersama.
Medan Baru Digital
Ruang digital mengubah landscape relasi manusia. Terdapat perubahan dari cara manusia mempergunakan teknologi yang kemudian pada akhirnya mempengaruhi sikap serta perilaku hingga budaya manusia itu sendiri.
Apa saja yang nampak? Crispin Thurlow et all, 2004, Computer Mediated Communication: Social Interaction and The Internet, mengungkapkan ada perubahan kebiasaan manusia pada hubungannya dengan internet.
Termasuk diantaranya, terkait identitas dimana ada pseudo identity dikarenakan ruang digital memungkinkan anonymous identity. Lalu penggunaan bahasa, ada ragam berbahasa digital -net speak atau dikenal juga net lingo.
Kejahatan digital -cybercrime, cyberbullying, bahkan cyberporn, juga merupakan dampak samping dari perubahan teknologi. Kerahasiaan data privat, mengalami ancaman.
Bahkan peluang demokrasi digital, sebagaimana identifikasi Jurgen Habermas tentang ruang publik -public sphere, yang kini merujuk ruang digital tidak sepenuhnya terjadi. Hoax dan hate speech seolah banjir dan bertebaran di dunia maya.
Hal ini sejalan dengan, James Curran et all, Misunderstanding the Internet, 2012, yang menyebutkan bahwa tidak ada ruang bebas nilai serta bebas kepentingan, termasuk jagat internet dan digital.
Kajian James Curran, menempatkan kerangka kuasa yang mendominasi dan tidak setara. Pelaku utamanya, tetap berpulang pada struktur kapitalisme sesuai kajian kritis. Negara menjadi proksi kepentingan ekonomi dari dunia kapitalis.
Lebih jauh lagi, internet menjadi media digital dalam perluasan pengaruh kapitalisme. Globalisasi adalah metode pengetuk batas wilayah, dalam kerangka perdagangan bebas menuju integrasi akumulasi kapital. Dengan begitu, internet adalah alat dan sarana penuh kepentingan kekuasaan.
Gegar Teknologi
Kini, di ranah domestik, pemerintah telah meluncurkan jalur tol langit. Infrastruktur digital dipersiapkan. Lebih jauh lagi, staf khusus kepresidenan, bahkan menteri milenial, ditunjuk dan diangkat untuk berbagai tugas.
Kita seolah tengah bersiap-siap. Problemnya, teknologi bulan semata-mata perangkat kerasnya -tools hardware, tetapi juga tentang manusia dan budayanya.
Pemerintah kerap terlambat merespon perubahan digital, bahkan tertinggal jauh. Dengan mengadopsi para milenial, mungkinkah konsep tata kelola pemerintahan mampu beradaptasi? Perlu uji lebih lanjut.
Regulasi bercorak konservatif, dalam pandangan kritis, bahkan berbagai peraturan pada kerangka hukum adalah representasi dari kepentingan kekuasaan, sekaligus melindunginya. Di sini titik kontras terjadi.
Era digital hidup dalam kecepatan perubahan dan lompatan yang tidak linier, sementara kepentingan kekuasaan kerap ber-status quo. Bahkan bisa jadi dobrakan digital menabrak dinding pelindung kekuasaan.
Maka mudah dipahami, blokir dan sensor diperlakukan sebagai sarana efektif mengatasi gempuran suara berbeda di jagat digital. Karena itu pula demokrasi digital seakan menjadi mitos.
Apa yang sejatinya perlu dipersiapkan? Kapasitas literasi publik dalam menggunakan teknologi. Peningkatan kemampuan untuk melihat substansi konten yang dibutuhkan sesuai konteks. Pembangunan kecerdasan humanis.Â
Pada level yang lebih lanjut, terdapat kebutuhan untuk menguatkan etika dalam ekosistem digital. Budaya adalah manifestasi dari interaksi sosial yang terbuka, dan adopsi teknologi mampu merubahnya, satu yang harus tersisa dari konsepsi dasar nilai budaya tersebut adalah menempatkan manusia sebagai center of change.Â
Karena manusia adalah subjek bagi dirinya, bukan hanya menjadi objek semata. Bila prakondisi ini telah mampu dipersiapkan, maka kita dapat bersiap menyongsong gegap gempita masyarakat digital. Sedang jika hal itu tidak mampu dipersiapkan, maka era kekacauan akan mulai melanda!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H