Pertanyaan besarnya, adakah budaya Indonesia? Bagaimana memahami keragaman budaya sebagai bentuk dari ekspresi natural atas kehidupan yang bersifat majemuk? Perlu terdapat ruang pengakuan yang dialogis atas perbedaan, secara terbuka dan setara, agar tercapai titik temu persimpulan.
Beberapa waktu terakhir, wacana yang dibahas di ruang publik adalah tentang indentifikasi identitas simbolik, yang dimaknai sebagai indikasi intoleransi. Lebih jauh lagi, atribut dan ornamen yang dipergunakan oleh sebagian kelompok, dinyatakan sebagai bentuk penjajahan budaya, berpotensi melenyapkan budaya nasional.
Benarkah formulasi tersebut? Bahkan sampai hari-hari ini, percakapan mengenai hal itu terus terjadi. Salah satu kesimpulan yang kemudian dikonstruksikan melalui aparatus kekuasaan adalah relasi intoleransi, radikalisasi dan terorisme sebagai manifestasi dominasi budaya asing yang meresap dalam alam pikir serta gerak sadar manusia Indonesia.
Pada kajian budaya, tidak mudah mengambil generalisasi pada satu titik singgung yang teramati secara fisik. Budaya adalah proses yang berlangsung dalam durasi panjang, terinternalisasi hingga kerangka alam bawah sadar. Apakah kita sudah sampai pada tahap dominasi budaya asing, atau sudah masuk pada imperialisme budaya?
Apa beda dominasi dan imperialisme? Bahwa imprealisme adalah bentuk tahap puncak dari dominasi. Tidak hanya berpengaruh, tetapi mampu mempengaruhi secara langsung. Imperialisme dimulai dari dominasi, dan berakhir pada ketertundukan, bermakna penjajahan budaya. Dan dalam konteks Indonesia, kita memang berhadapan dengan hal tersebut.
Tantangan Budaya
Dua tegangan yang terjadi di antaranya adalah politisasi budaya, yakni menjadikan budaya sebagai landasan kepentingan politik. Selain itu komersialisasi budaya, yang dimaknai sebagai menjadikan budaya sebagai kerangka komodifikasi, dengan target pragmatis kepentingan komersial. Keduanya mudah terlihat.
Periode kekuasaan, kerap menggunakan jargon budaya untuk melanggengkan kepentingan kekuasaannya. Stabilitas adalah tagline Orde Baru, budaya Pancasila adalah pilihan narasi yang dikembangkan untuk memastikan keteraturan, alias membangun kesamaan alih-alih memberikan kesempatan suara alternatif yang berbeda sebagai upaya memperkaya diskursus.
Sementara itu, komersialisasi budaya menciptakan apa yang disebut sebagai budaya massa. Hal itu terleihat dari suguhan tontonan, bacaan bahkan hiburan yang kita lihat setiap hari melalui media massa. Sulit membumikan budaya adiluhung lokal, dibandingkan tawaran energik dari budaya populer layaknya gelombang K-Pop pada generasi muda kita. Ada logika nilai dalam aspek nominal dibalik budaya massa tersebut.
Diantara politisasi dan komersialisasi budaya tersebut, kita menghadapi ujian. Bukan soal kemampuan untuk bertahan semata, tetapi untuk bisa memastikan estitensi budaya yang bebas nilai, yakni bebas dari kepentingan politik bagi kekuasaan dan bebas dari akumulasi kapital demi keuntungan segelintir kelompok semata.
Apakah ada yang salah dari situasi himpitan politisasi dan komersialisasi budaya tersebut? Tentu saja tidak, karena budaya adalah hasil interaksi dinamis, yang tidak final, ataupun ajeg. Budaya adalah proses dari berada --being untuk menjadi --becoming.
Dengan begitu, kita dapat memahami hadirnya proses akulturasi maupun asimilasi yang dapat terjadi, bahkan hingga menciptakan budaya baru. Problem yang harus dicermati adalah lunturnya nilai-nilai dasar kemanusiaan --humanisme. Kita kehilangan rasa kemanusiaan, bahkan bisa jadi tidak memiliki perasaan manusiawi terhadap lingkup sosial dimana kita berada.
Pencarian Budaya
Kembali pada pertanyaan paling awal, adakah budaya Indonesia? Dalam kajian Kuntowijoyo, budaya nasional adalah akumulasi dari budaya-budaya lokal. Lebih jauh lagi, Muchtar Lubis menyatakan beberapa ciri manusia Indonesia, termasuk diantaranya munafik, feudal, percaya takhayul hingga plagiat. Indikasi ini tentu semakin mencemaskan.
Sesungguhnya tidak ada budaya lokal yang otentik dan genuine. Nusantara adalah tempat persilangan budaya. Karena sulit untuk bisa memastikan manusia Indonesia yang sesungguhnya. Hasil analisis DNA (Tempo, 15/10) mengungkapkan hal tersebut. Rujukan atas pelacakan DNA, justru menempatkan originalitas DNA lokal berasal dari proses migrasi dari wilayah teritori geografis Afrika yang beradaptasi dengan situasi lingkungannya.
Bukan hanya itu, penelusuran atas manusia modern dalam penelitian terbaru, menunjuk lokasi Afrika, lebih tepatnya Botswana sebagai kampung halaman, lengkap dengan kontroversinya (Kompas, 30/10). Jadi adakah manusia Indonesia yang asli? Jawabnya merujuk beberapa hasil penelitian tersebut, agaknya tidak ada.
Lalu adakah budaya asli Indonesia? Interaksi sosial dan lingkungan manusia yang berkedudukan di wilayah nusantara, bisa jadi membentuk satu norma dan budaya baru. Tetapi kita tidak pernah hidup menyendiri, karena jejak kontak hubungan dengan berbagai bangsa telah tercatat dalam pola kehidupan manusia sejak jaman-jaman nusantara terdahulu. Arus perdagangan dunia, hubungan antar kerajaan di nusantara adalah buktinya.
Dengan begitu, sebagaimana Ben Anderson yang menyatakan bahwa budaya nasional terbentuk sebagai perluasan dan ekstensifikasi atas imajinasi bersama ditingkat komunitas. Sehingga, alasan terbesar dalam kepentingan nasionalisme adalah imajinasi bersama, latar historik dan proyeksi kehidupan bersama. Nasionalisme bukanlah sebuah proyek dalam upaya rekayasa paksa secara teknokratik, melainkan melalui mimpi bersama.
Merujuk hal itu, sejatinya persoalan kontradiksi dalam perbedaan sebagai sebuah negara bangsa adalah hal yang alamiah, selama kita mampu mewujudkan mimpi-mimpi serta gagasan konseptual bersama menjadi sebuah realitas tujuan, yakni menciptakan masyarakat merdeka, adil dan makmur serta sejahtera.
Perbedaan, hanya dapat diatasi dengan membangun ruang komunikasi sebagaimana yang dinyatakan Habermas, dengan berbasis pengakuan perbedaan melalui koreksi Honneth. Mengakui perbedaan adalah kemampuan untuk keluar dari ketertutupan proses berpikir bebas. Dan kini kita justru tengah terjajah akibat ruang bernalar yang semakin sempit tersebut.
Berbeda itu biasa, bersama dalam mencapai tujuan dengan ragam perbedaan itu justru luar biasa. Itulah kita, bukan aku, kamu dan kalian tapi sekali lagi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H