Atas dasar itulah, akan menjadi sebuah situasi yang pelik diantara pilihan apakah harus mereduksi manfaat atau menaikan premi biaya, guna mengatasi senjang defisit pembiayaan yang terjadi. Karena semua pilihan itu akan berdampak pada risiko citra politik.Â
Pada kajian yang lebih dalam, aspek kesehatan harus dapat dimaknai sebagai bentuk investasi nasional, dalam konteks penguatan sumber daya manusia sebagai keunggulan berdaya saing.
Melalui penggunaan perspektif tersebut, mestinya soalan defisit bukan lagi isu yang pokok dan berulang, karena sudut pandangnya investasi bagi modal dasar manusia.Â
"Naik premi, lepas ke harga aktuaria, tutup defisit. Dengan begitu, jawaban atas defisit akan selalu ditempatkan pada persoalan kenaikan premi. Perlahan menuju harga pasar."
Sementara disisi lain, problem defisit akan selalu menjadi tema bahasan, jika paradigma kesehatan publik masih dalam frame sebagai ongkos yang setara dengan biaya pembangunan. Padahal ada dampak dari hasil jangka panjang, yang diperoleh melalui perbaikan indeks kesehatan nasional.
Sebut saja kapasitas dari produktivitas nasional yang meningkat, karena manusianya sehat dan siap melaksanakan pembangunan, untuk dapat memenangkan kompetisi global. Kalau sudah sampai pada taraf pemikiran tersebut, defisit tentu bukan persoalan. Karena menjadi tanggungjawab pemerintah.Â
Menyingkap Mitos
Banyak mitos berkembang mengiringi perihal kenaikan premi BPJS Kesehatan, pertama: tentang nilai manfaat bagi penerima bantuan iuran (PBI). Dengan menunjukan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab atas biaya premi kelompok miskin dan pra sejahtera, sebagai buktinya.
Pernyataan ini terbilang kabur, karena memang tugas negara lah memastikan perlindungan bagi fakir miskin dan anak terlantar.Â
Jadi pembiayaan atas PBI bukan sebuah bentuk komitmen pemerintah yang utuh, karena memang seharusnya demikianlah perlakuannya, yakni menjamin akses dan pembiayaan kelompok yang berkategori 40 persen penduduk yang tertinggal dan tercecer. Â
Kedua: bahkan sampai terjadi defisit sekalipun, kepuasan publik bagi BPJS Kesehatan tetaplah tinggi. Perlu kajian mendalam apakah sampel dalam survei tersebut memiliki komparasi pembanding kepuasan?