Kedua: momen ini memperlihatkan keterpisahan elit dari akar publik. Oligarki menempatkan posisi KPK sebagai kubu yang berlawanan.
Penegakan hukum korupsi, hendak dikembalikan pada instrumen tradisional, melalui kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Di sisi lain, publik justru memiliki harapan akan fungsi independen KPK, yang garang dengan berbagai upaya penindakan dan tangkap tangan.
Ketiga: kemunculan pelaporan rekayasa kasus Novel, bisa dimaknai sebagai proksi perang kepentingan. Rangkaian kejadian mulai dari gempuran isu aliran Taliban dari para pendengung -buzzer yang tidak henti-hentinya di sosial media, mendorong stimulasi pembentukan opini.
Bila tidak ada upaya sistematik melakukan perlindungan pada institusi KPK, dipastikan agenda pemberantasan korupsi mengalami kemunduran paska pemberlakuan revisi UU KPK.
Pada bagian akhir, kita sebagai sebuah bangsa dan negara, memang telah berhutang mata pada Novel. Selayaknya Dewi Kebajikan Themis, yang berpenutup mata, tanpa pandang bulu, menimbang kejahatan termasuk korupsi, dan memberi penghukuman melalui mata pedang keadilan.Â
Tapi apakah kita masih mampu dan memiliki mata hati akan hal itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H