Dari Rektor hingga Kepala Sekolah
Problemnya, aspirasi publik berbeda, sehingga tidak dapat terbendung ketika berhadapan dengan kehendak kekuasaan. Model parlemen jalanan digelar, demonstrasi menjadi alternatif bagi kekuasaan formal yang dianggap mangkrak.
Elemen pemuda, mahasiswa dan pelajar mengambil peran dan menjadi motor penggerak kali ini. Situasi tersebut adalah gangguan dan mengusik tatanan politik yang telah mapan. Maka pemangku kuasa pun memanggil bidang kementerian terkait.Â
Hasil akhirnya mudah ditebak, ancaman dijalankan secara berurutan melalui jalur birokrasi. Sang menteri menyebut akan memberikan sanksi bila diketahui ada rektor perguruan tinggi yang dianggap ikut mengerakkan mahasiswa berdemontrasi. Lantas pak menteri bersepakat membuka ruang dialog.
Jika diurai sesuai kejadian, kita tentu dapat membayangkan pintu bagi terciptanya komunikasi telah mengalami kebuntuan. Proses audiensi dengan para pihak terkait tersumbat.Â
Maka demonstrasi adalah hak konstitusional sebagai sarana mengekspresikan pendapat dan suara berbeda. Toh hal itu pula yang pada akhirnya dapat membuka kembali ruang dialog yang telah ditutup sebelumnya.
Pun begitu halnya dengan para pelajar, Kepala Daerah dan Dinas Pendidikan meminta Kepala Sekolah bertanggung jawab, serta dapat diberi sanksi bila membiarkan para siswa terlibat aksi unjuk rasa. Logika ini seolah menjadi bagian dari pembatasan hak berpendapat.
Pada akhirnya, skema pengawasan berlangsung berjenjang. Sejatinya pengawasan adalah bagian dari upaya menyeimbangkan kekuasaan agar tidak tergelincir. Namun pada akhirnya, pengawasan pula dapat menjadi sarana dalam memperkuat cengkraman kekuasaan bagi publik.
Lingkaran pengawasan yang ditujukan bagi upaya menertibkan pendapat berbeda, agar menjadi senyawa dengan kepentingan kekuasaan, adalah bentuk penyelewengan mandat publik atas kekuasaan. Camkan itu!