Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral

31 Agustus 2019   18:28 Diperbarui: 1 September 2019   15:18 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi politik identitas. (sumber: KOMPAS)

"Keikutsertaan publik muncul pada periode singkat menjelang kompetisi politik. Dengan begitu, partisipasi publik diartikan sebagai kalkulasi atas jumlah suara politik." 

Bagaimana memaknai perkembangan politik domestik? Sekurangnya dua hal penting semakin mencuat dan menjadi bahan diskusi menarik, terutama terkait dengan populisme dan politik identitas, saling berkelindan hingga menciptakan dinamika politik secara aktual akhir-akhir ini.

Apa yang akan dibahas dalam tulisan ini, merupakan bentuk summary atas buku karya Burhanuddin Muhtadi dengan judul serupa, dengan anak judul: ".. Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Elektoral". 

Dalam buku 304 halaman tersebut, yang rilis Maret 2019, Burhanuddin merilis gagasannya dalam rentang kajian berbagai momentum politik, termasuk diantaranya: Pilpres 2014, Pilkada DKI 2016, termasuk Pilkada Serentak 2018 hingga bagian dari tahap awal Pilpres 2019.

Sekurangnya, kajian terkait hasil Pileg dan Pilpres 2019, akan menjadi kajian lanjutan yang menarik serta perlu dibahas kemudian hari. Karena momen tersebut, yakni Pemilu 2019, dinyatakan sebagai kontestasi tersengit dalam konteks Pilpres, sehingga dapat menjadi sarana uji premis dari apa yang disampaikan Burhanuddin terkait dengan frase populisme dan politik identitas.

Penjelasan pada bahagian awal dari buku tersebut dengan terang mendasarkan dirinya pada konsep populisme sebagaimana dimaknai menjadi gerakan anti status quo. Dalam kancah politik, populisme ditandai dengan upaya menempatkan publik sebagai arus utama dan center point.

Problemnya, populisme kerap kali tersandera sebagai metode dan sarana mencapai pusat kekuasaan. Keikutsertaan publik dalam pembicaraan kepentingan publik itu sendiri hanya muncul pada periode singkat menjelang kompetisi politik. Dengan begitu, partisipasi publik diartikan sebagai kalkulasi atas jumlah suara politik.

Populisme, sesuai Burhanuddin, dapat menggunakan jargon politik yang tampil merakyat, menjadikannya sebagai wadah aspirasi kelompok marjinal, meski kemudian dibajak oleh kepentingan segelintir pihak bahkan oleh oligarki kekuasaan yang sedang bertanding dalam kontestasi politik melalui ajang pemilihan. Sekali lagi, populisme adalah penghantar menuju epicentrum kursi kuasa.

Lalu bagaimana politik identitas? Apakah jenis dan mekanisme politik identitas tersebut menjadi madu bagi demokrasi, ataukah sebaliknya? Kajian ini menempatkan aspek primordial, dalam hal suku dan agama sebagai basis analisa politik. Khusus di Indonesia, akan terkait dengan keberadaan Islam sebagai landasan politik berkenegaraan.

Politik identitas, seringkali jatuh pada stereotip, baik terhadap diri sendiri di dalam kelompok, maupun ketika memandang keberadaan kelompok lain. Bentuk politik identitas kemudian kerap terjerembab di penguatan sentimen SARA. Maka kategorinya berubah menjadi politisasi identitas. Lagi-lagi kehadiran politik identitas hanya menjadi medium bagi pencapaian kekuasaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun