Komponen penting dari nilai pluralisme, menurut Kekes, meliputi kenyataan bahwa (a) konflik nilai merupakan hal yang tidak dapat dihindari, (b) dibutuhkan upaya rasional sebagai rumusan atas resolusi konflik, (c) nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat memiliki kompatibilitas sosial, sehingga tidak dapat diperbandingkan.
Dengan begitu, Kekes menyebutkan bahwa sistem nilai tunggal yang seragam sebagaimana monisme, maupun mekanisme nilai yang berbeda secara subjektif seperti halnya relativisme, tidak akan mampu menjelaskan keberadaan pluralisme moral.
Sehingga, menurut Kekes, pluralisme terletak pada penghargaan atas keberagaman konsep nilai. Dimana kajian pluralisme Kekes, mengambil dasar diantara konsep monisme dan relativisme.
Merujuk kondisi tersebut, kita perlu untuk dapat memahami, bahwa terdapat keterbatasan yang dimiliki secara subjektif. Sehingga, upaya yang dibutuhkan guna membangun sebuah kemajuan moral dari kehidupan bermasyarakat, sebagai sebuah relasi sosial, adalah dengan mampu menghargai masing-masing batasan nilai dan penilaian tersebut.Â
Kegagalan Demokrasi
Pada sisi yang berbeda, radikalisme adalah sebuah frasa yang kini diarahkan kepada seluruh kelompok Islam. Perlu dipahami, bahwa pada banyak konflik yang terjadi di seluruh penjuru dunia, akan sangat terkait dengan latar belakang persoalan keyakinan keberagamaan.
Problemnya, relasi aksi-reaksi dalam pertentangan tersebut, terjadi sebagai sebuah kausalitas. Hal ini mengakibatkan, posisi resiprokal yang memicu konflik tidak berkesudahan. Pandangan tentang apa yang disebut sebagai Radikalisme Islam, menurut Oliver Roy, Globalised Islam, The Search for a New Ummah, (2004) bukanlah hal yang tepat.
Pada realitanya, radikalisme Islam juga terjadi dan berkembang di berbagai negara Barat. Situasi tersebut menggambarkan bahwa terjadi ketertarikan untuk melakukan pendekatan kembali kehidupan bermasyarakat dengan mendasarkan diri pada kaidah Islam atas aspek ekonomi, politik dan budaya.Â
Dengan situasi tersebut, Islam kemudian akhirnya mengalami proses radikalisasi, sebagai bentuk manifestasi atas kefrustasian pada wajah modernitas Barat. Radikalisme Islam menjadi antithesis dari hasil proses westernisasi itu sendiri.
Sementara arus globalisasi, dalam makna perluasan akses ke seluruh dunia, menjadi sarana percepatan proses internalisasi nilai-nilai Islam yang disalahpahami, sebagai konsep neo-fundamentalisme.
Kondisi radikalisasi Islam, merupakan bagian dari konsekuensi keterasingan kelompok Islam secara patologis, atas kemajuan peradaban sesuai dengan ukuran Barat. Dimana keberadaan Islam politik, yang mempergunakan format demokrasi, dipandang gagal dalam mendorong implementasi Islam sebagai nilai besar, dalam konsepsi kehidupan bernegara.Â