Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hakim, Hikmah, dan Mahkamah

24 Juni 2019   06:05 Diperbarui: 24 Juni 2019   06:10 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sang hakim dalam memutuskan sebuah perkara, harus mampu mengambil hikmah sebagai pijakan. Hikmah sendiri adalah kearifan dan kebijaksanaan yang hakiki sebagai esensi mendalam. Dibutuhkan upaya keras seorang hakim pada sebuah mahkamah, untuk mencapai hikmah kebenaran.

Publik Pembelajar

Disisi lain, realitas yang terjadi dan dipertontonkan kepada publik kali ini, semakin melengkapi proses pendidikan politik di tanah air. Pemilihan langsung adalah wujud dari representasi atas partisipasi publik. Dan setiap proses dari pelaksanaan Pemilu, termasuk sengketa di dalamnya, menjadi tahapan pembelajaran penting. 

Dalam perkembangan psikologi, diperkenalkan oleh Albert Bandura konsep pembelajaran sosial, melalui eksperimentasi Bobo Doll. Bahwa melalui paparan dalam interaksi fisik, seorang anak beradaptasi dengan lingkungan melalui pengamatan, termasuk merepetisi tindakan kekerasan kepada Bobo Doll.

Jika proses politik dalam kehidupan bernegara kali ini mampu disikapi dengan arif dan bijaksana, yang saat ini disandarkan kepada para hakim akan memutuskan perkara melalui hikmah yang didapat melalui mata hati terdalam, bukan sekedar mata kepala.  

Karena, momentum yang kini menjadi perhatian publik ini, tidak hanya akan menjadi bagian dari sejarah kehidupan bernegara, tetapi sekaligus dapat menjadi catatan pelajaran publik, layaknya bangunan teori Bandura mengenai Bobo Doll.

Memori publik, akan menyimpan dan mempelajari apa yang akan terjadi di hari-hari mendatang, jelang penetapan hasil keputusan para hakim. Kita tentu berharap, hikmah yang mulia dapat diformulasikan melalui kerangka logika, etika dan estetika, melalui dasar nilai dalam konstitusi kita bersama. 

Terang bahwa apapun hasilnya nanti, kita akan sangat menghormati dan menerimanya. Kini, sang Hakim yang harus mampu membuktikan hal itu!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun