Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

MK, Media Sosial, dan Etalase Demokrasi

22 Juni 2019   14:08 Diperbarui: 23 Juni 2019   09:02 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik dapat dimaknai sebagai permainan kata-kata. Dalam dunia politik, seorang aktor politik dapat mati berkali-kali. Selain itu, politik juga menjadi medan perang tanpa senjata dan darah. Tetapi politik bisa pula berakhir dalam makna terburuk, menciptakan bibit kesumat.

Ruang Sosial Media
Kerangka opini publik dibentuk melalui penguatan pesan dari para pihak, baik melalui media mainstream maupun sosial media. Publik memiliki sudut pandang tersendiri, sebagai hasil dari interaksi informasi yang dikonsumsi.

Penentu akhirnya tetap di tangan dan palu hakim konstitusi. Sidang MK itu mekanisme persidangan cepat (speedy trial). Tentu harapan publik, proses yang cepat diiringi dengan cermat dan tepat dalam keputusannya, secara komprehensif serta final mengikat, juga tidak meluputkan hal-hal yang bersifat mendasar.

Fakta dan bukti, serta kesaksian adalah ukuran yang dipergunakan untuk menimbang kasus. Dengan demikian, opini publik melalui media massa ataupun media sosial, menjadi isi kognisi publik. Problemnya, model distribusi informasi di media sosial yang interaktif dan horizontal, mengakibatkan penguatan pembentukan opini yang diyakini benar secara relatif.

Ilmu komunikasi menempatkan dua hal penting dalam pola paparan informasi, yakni kultivasi dan irreversible. Bahwa dalam durasi yang berkelanjutan, tidak hanya pada momen persidangan di MK, tetapi konflik Pemilu telah dimulai bahkan sejak penentuan calon dan seolah tidak berkesudahan.

Pada akhirnya, apa yang menjadi perbincangan maupun percakapan di ruang publik atas pertikaian politik tersebut, akan menumbuhkan serta membangun benteng persepsi publik (cultivation). Dan perlakukan komunikasi yang sedemikian, membutuhkan aspek rehabilitasi mendalam, tersebab karena makna pesan yang dikonsumsi dalam proses komunikasi, tidak dapat langsung ditarik maupun dikembalikan (irreversible).

Situasi asimetrik informasi karena seleksi dan sortir dilakukan berdasarkan nilai kebenaran yang diyakini, mengakibatkan kita kesulitan untuk melihat perspektif lain dari kebenaran yang berbeda. Bisa jadi sifatnya bumi hangus, saling menegasikan.

Di ranah sosial media, mekanisme bully terjadi melalui hashtag (#) pada kedua pihak. Penguatan sentiment dan tones terjadi di dunia maya, semakin melengkapi apa yang tampak dalam realitas media mainstream. Melalui persidangan perselisihan pemilu di MK, sesungguhnya kita melihat secara reflektif wajah demokrasi kita, sebagai etalase kepentingan.

Maka, siapapun pemimpin terpilih nantinya adalah pemimpin bagi seluruh warga negara, dan jelas memiliki tugas tidak mudah, untuk mengembalikan relasi sosial yang telah koyak tersebut. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun