Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

MK, Media Sosial, dan Etalase Demokrasi

22 Juni 2019   14:08 Diperbarui: 23 Juni 2019   09:02 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antara Foto/Hafidz Mubarak

Perdebatan itu menghangat. Perbantahan terjadi. Argumen saling berbalas. Bahkan ditayangkan live. Durasi panjang nampak tidak menjadi masalah.

Keriuhan penyikapan hasil pemilu terjadi. Masing-masing pihak memperkuat bukti dan kesaksian. Para ahli dipertemukan, dalam situasi yang saling bertentangan.

Diskusi di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) itu, menimbulkan ketertarikan publik untuk memahaminya. Mungkinkah terjadi keputusan yang berbeda? Mampukah tim kuasa hukum para pihak, memastikan kemenangan?

Tidak ada yang bisa membangun proyeksi secara presisi. Dengan begitu, kunci kotak misteri terletak ditangan jajaran majelis hakim konstitusi. Melelahkan, terlebih bagi para masing-masing kubu pendukung.

Seolah terbangun hubungan aksi reaksi. Profesor versus profesor. Ahli Hukum berhadapan dengan ahli hukum. Tim IT berbalas tim IT. Informasi berlimpah, dan setiap pihak berupaya mendominasi kebenaran, guna meyakinkan para pengadil.

Panggung Drama
Penyelesaian perselisihan hasil Pemilu melalui kuasa MK, dalam ilmu komunikasi tidak hanya terkait dengan konsep dramaturgi para elite yang memainkan peran di panggung depan (front stage), dan hal itu bisa berbeda dengan apa yang terjadi di panggung belakang (backstage).

Di sisi lain, ada proses dramatisasi. Para pelaku politik menjadi aktor, bertindak sesuai script, melakonkan diri berdasarkan plot, meningkatkan tensi menuju fase final. Kisah di akhir drama, bisa menjadi sad ending ataupun happy ending. Ketegangan meningkat.

Di banyak media mainstream, para pencari keadilan yang bersidang seakan bertikai tanpa muara. Para saksi diwawancarai, beberapa di antaranya dengan intonasi meninggi. Dalam makna peyoratif, kesaksian seolah menjadi pesakitan. Dikuliti di luar substansi.

Pada kajian komunikasi, paparan media memberi dampak disonansi kognitif. Tidak dapat dipungkiri, barisan pendukung masing-masing kubu yang berseteru, semakin menguatkan pandangan serta persepsinya. Penebalan ketidaksukaan akan pihak lain terjadi. Tembok pemisah menjadi lebih tinggi.

Tetapi itulah konsekuensi yang dihadapi. Penuntasan yang adil diharapkan hadir, melalui perantara majelis hakim. Pertanyaannya, mampukah keadilan diterima secara terbuka oleh semua pihak? Di sini letak kemampuan pengelolaan serta kematangan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun