Tanpa bermaksud mendahului, penting untuk menatap peta koalisi dan bentuk susunan kabinet pemerintahan pasca Pemilu 2019.
Meski hasil akhir Pemilu baru akan diselesaikan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi setidaknya proyeksi dalam logika legal akan menghasilkan keputusan yang tidak mengejutkan.
Efek surprise tidak akan tercipta terlalu signifikan, sekurangnya dalam premis, (a) bahwa kesalahan dalam term kecurangan terjadi, secara sporadis dan hal tersebut menjadi catatan bagi penyelenggaraan Pemilu, (b) dugaan terstruktur, masif dan sistematik tidak mampu diyakinkan terjadi, akhirnya (c) atas temuan kesalahan yang terjadi, tidak dapat mengubah komposisi perolehan suara, sekaligus tidak dapat membalik hasil perhitungan.
Meski dalam posisi yang bersamaan, pihak pemohon persidangan di MK, harus mampu mengajukan aduan dengan bukti pelengkap yang solid sebagai argumen.
Kemampuan dalam tata beracara di MK harus benar-benar dikuasai dengan kuat dan ketat. Skill kubu oposisi dalam berjibaku pada persidangan di MK adalah faktor pembeda yang akan kita lihat melalui dinamika proses hukum selanjutnya.
Bila hal itu tidak terjadi dengan sangat meyakinkan, maka asumsi diawal yang akan terjadi. Dengan demikian kita akan mulai masuk pada proses formasi kabinet dan kemungkinan perubahan arah angin koalisi.
Politik adalah tentang ruang abu-abu, sifatnya sangat lentur dan fleksibel. Jargon tentang tiada kawan sejati, kecuali kepentingan yang abadi adalah hal nyata.
Skema Koalisi
Pentingkah berbicara koalisi? Mengapa diskusi koalisi didahulukan ketimbang berbicara kabinet? Tentu karena titik kompromi dan negosiasinya tercermin melalui bentuk koalisi setelah proses Pemilu usai.
Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah ada pertambahan kubu koalisi pemenang? Apakah akan ada proses akseptasi yang sama dari seluruh pihak dalam koalisi awal pengusung? Jawabnya tergantung pada pemimpin koalisi dan sang kandidat itu sendiri.
Sinyalemen lompat pagar koalisi terbaca, setidaknya Demokrat dan PAN nampak mulai menjalin komunikasi. Sekali lagi dalam politik, hal seperti itu normal dan wajar-wajar saja. Politik bukan soal garis lurus, tetapi tentang kurva lengkung yang berbeda kadar bengkoknya.