Berdasarkan profile hasil pemilu, maka identitas memang menjadi sebuah ikatan yang mempersatukan. Seelumnya kita telah menyinggung tentang homophily danheterophily -aspek kesamaan dan perbedaan kelompok, yang pada kaitan dengan hasil Pemilu lalu, terjadi penguatan aspekprimordialisme atas perbedaan alamiah yang lahir bersamaan dengan keberadaan individu, termasuk soal kepercayaan.
Tetapi hal itu juga sesungguhnya normal dan wajar, karena dalam pentas demokrasi modern kita juga mengenal konsep Party-IDsebagai upaya mengidentifikasi persamaan atas pemahaman serta kehendak individu sebagai bagian dari identitas sebuah organisasi partai politik, yang jelas-jelas merupakan bentuk identitas bersifat fleksibel dan dinamis.
Penguatan Islam Politik
Permulaan percakapan tentang politik identitas, tentu tidak terlepas dari kontestasi politik di DKI Jakarta, serta "keseleo lidah"Ahok terkait Al-Maidah 51.Â
Serangkaian aksi Bela Islam, mulai dari 411, 212 dan hingga Reuni 212 adalah bentuk ekspresi tindakan dengan orientasi berbasis keagamaan. Persamaan sentiment agama tersebut, merupakan bentuk sebuah kebangkitan politik Islam. Secara bersamaan, rintisan gerakan ekonomi Islam terbangkitkan.
Pada tahapan awal, aksi 411 dan 212 mampu menjadi wadah pemersatu berbagai aliran Islam, meski kemudian mengalami keterpisahan pada Reuni 212. Hal tersebut, ditengarai disebabkan karena konteks politik Reuni 212, berkenaan dengan Pilpres 2019, yang menempatkan figure Islam melalui keterpilihan KH Ma'ruf Amin berpasangan dengan Jokowi. Problemnya, petahana terasosiasi dibenak publik sebagai "pelindung"Ahok, dan dianggap berseberangan dengan persepsi khalayak Islam.
Dititik tersebut, kemudian kekuatan yang pernah bersama dalam 411 dan 212 terbelah dalam dukung-mendukung aktor politik. Sebagian pendukung terkategori sebagai Islam tradisonal, dengan konsepsi Islam Nusantara mendukung pencalonan KH Ma'ruf Amin sebagai simbol representasi ormas Islam Nahdlatul Ulama dan sekaligus dalam posisinya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia.
Sementara yang lainnya, mendukung pasangan calon dari kubu oposisi sebagai proyeksi antithesis atas petahana. Kontestasi politik yang hanya diisi oleh dua kandidat, mengakibatkan arah dukungan terpolarisai. Koalisi kontra petahana, mengelompok bersama, yang kemudian dalam terminologis yang kontroversial, dinyatakan sebagai Islamgaris keras, benarkan demikian?.
Berkaca dari hasil Pemilu yang menempatkan partai-partai nasionalis sebagai kampiun, maka terdapat beberapa hal yang bisa menggambarkan serta memberikan kesimpulan atas situasi pemilih muslim kali ini, yaitu (a) tidak terelaborasinya aspirasi muslim melalui partai yang menggunakan prinsip keIslaman, dapat pula karena (b) dominan serta terkonsolidasinya Islam tradisional pedesaan, dibanding Islam modern perkotaan, atau (c) terpecahnya suara muslim karena partai-partai nasionalis juga kemudian mendirikan organisasi sayap yang merangkul ruang sosial-keagamaan.(berlanjut)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H