Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Muara Simpati untuk Petugas KPPS akan Sampai Mana?

9 Mei 2019   12:54 Diperbarui: 13 Mei 2019   08:56 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Shutterstock

Simpati terdalam perlu disampaikan kepada keluarga dari 440 anggota KPPS yang meninggal dunia (per-5 Mei 2019). Sementara sekurangnya 3.788 petugas lainnya sakit.

Dalam makna kemanusiaan, maka keprihatinan atas suasana duka dari pesta demokrasi kali ini tentu menjadi sebuah catatan kelam tersendiri. Terdapat begitu banyak nyawa yang hilang dalam tugas tersebut.

Soal nyawa jelas bukan soal ukuran banyak atau sedikit, karena urusan kehidupan menjadi sangat berharga. Tentu perlu evaluasi dalam melihat fenomena ini, mari bersama melihat dalam kacamata kemanusiaan. 

Dikotomi politik kita memang tengah memuncak, maka perhatian atas kasus seperti ini kemudian mudah dicurigai memiliki tendensi kepentingan tertentu, jelas cara berpikir seperti itu merupakan sebuah kekeliruan, bahkan sesat berpikir.

Ada situasi ironi, hingar-bingar dan gegap gempita pemilu serentak kali ini justru merenggut nyawa begitu banyak. Secara kejadian, kondisi ini masuk dalam kategori tragedi, karena ada hal yang tidak diinginkan terjadi disana.

Tidak pula dengan mudah kita berbicara bahwa Pemilu 2014 pun terdapat petugas KPPS yang meninggal, maka kejadian serupa di Pemilu 2019 menjadi hal yang wajar serta normal. Kesesatan pemikiran itu terjadi, karena penyederhanaan masalah, sekaligus seolah menghindari tanggung jawab.

Persoalannya, apakah kita telah berusaha menghindari kemungkinan terburuk dari situasi itu? Kelelahan dinyatakan sebagai penyebab atau dapat menjadi pemicu kematian, ada argumentasi medis yang berbeda soal itu, tetapi satu hal yang sama tugas KPPS terbilang berat.

Maklum saja pemilu kali dilakukan serentak, di tengah hangatnya proses kontestasi politik, menjadi tekanan psikologis sebagai beban tambahan. Problemnya gambaran akan beban kerja dan tugas yang dikategorikan berat tersebut, bahkan tidak terpotret melalui hasil simulasi pemilu serentak yang telah dipersiapkan lama.

Akan Bermuara ke Mana?

Dengan begitu, tulisan Effendi Gazali tentang Penghancuran Peradaban melalui Pemilu menjadi menarik untuk dilihat. Tudingan kepada Effendi dkk selaku pemohon pemilu serentak ke MK yang kini berkonsekuensi pada kematian anggota KPPS tidak berdasar dengan mencermati jawaban yang diberikan.

Dikabulkannya pemilu serentak tidak berjalan seiring dengan ajuan penghapusan Presidential Threshold, maka yang mencuat adalah alasan efektifitas dan efisiensi anggaran bagi penyelenggaraan pemilu yang tampak mengemuka. 

"Apakah dengan demikian isu ini dapat menjadi upaya menjadi sarana delegitimasi KPU dan hasil Pemilu 2019? Tentu tidak bisa dilihat secara linier sedemikian, karena hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab serta perhatian dan evaluasi para pihak terkait, termasuk KPU, Pemerintah dan DPR."

Padahal, tujuan persidangan pemilu serentak adalah mencegah potensi terjadinya kandidat tunggal, termasuk menghindari kompromi serta negosiasi politik jangka pendek. Melalui pemilu serentak sudah seharusnya tidak terdapat kendala untuk menghadirkan figur-figur alternatif kandidat calon presiden, tersebab adanya ajuan penghapusan Presidential Threshold.

Publik akan semakin kaya pilihan, sedangkan partai didorong untuk dapat mengajukan kader terbaiknya, atau bahkan membangun koalisi yang lebih bersifat permanen, karena belum ada hasil Pileg. Namun sayangnya, paket ajuan terkait Presidential Threshold justru dimentahkan. Hasilnya, sebagaimana terjadi saat ini.

Lalu tarikan besar pertanggung jawaban ada di mana? Tentu posisi KPU sebagai badan penyelenggara pemilu memiliki kewenangan strategis secara langsung, termasuk kemampuan dalam mencermati dan mengantisipasi teknis atas risiko-risiko yang terjadi. 

Apakah dengan demikian isu ini dapat menjadi upaya menjadi sarana delegitimasi KPU dan hasil Pemilu 2019? Tentu tidak bisa dilihat secara linier sedemikian, karena hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab serta perhatian dan evaluasi para pihak terkait, termasuk KPU, Pemerintah dan DPR.

Korban atau Pahlawan?

Sesuai dengan judul tulisan ini, antara nyawa dan suara, maka kematian anggota KPPS menjadi korban dari lemahnya mekanisme antisipasi risiko. Rentang persoalan dimulai dari mekanisme rekrutmen, penentuan batas umur, prasyarat kesehatan, hingga pengaturan waktu dalam pelaksanaan teknis.

Secara bersamaan, anggota KPPS yang gugur dalam tugasnya adalah pahlawan, karena memfasilitasi penyampaian suara publik. Karena itu pula harus terdapat upaya dalam menghargai jasa yang telah dilaksanakan sebagai kompensasi sepadan.

Prinsipnya secara reflektif perlu ada upaya perbaikan serta pembenahan proses pemilu, hal itu menjadi penting dalam catatan demokrasi kita yang penuh dengan kepiluan kali ini. 

Dengan segala kejadian dalam pemilu kali ini, teringat Michael Polanyi seorang pemikir Hungaria tentang pola kerja dokter dalam menyingkap penyakit, diperlukan kemampuan melakukan anamnesa metode tanya jawab, untuk menegakkan diagnosa serta memberikan terapi penyembuhan.

Demikian pula dalam melihat selimut duka pemilu kali ini dengan kematian anggota KPPS. Sebagaimana Polanyi, pendekatan berbasis angka kuantitatif dalam perspektif positivistik dalam mencari realitas, hanya akan berhadapan dengan kegagalan memahami esensi kemanusiaan, yang tidak bisa dilepaskan dari aspek moralitas, estetis dan ikatan sosial, atau dalam makna mendalam meninggalkan kesadaran.

Jadi sudahkan kita berkaca dari kejadian ini untuk melihat sentuhan kemanusiaan, melampaui kepentingan jangka pendek? Silahkan dijawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun