Dikabulkannya pemilu serentak tidak berjalan seiring dengan ajuan penghapusan Presidential Threshold, maka yang mencuat adalah alasan efektifitas dan efisiensi anggaran bagi penyelenggaraan pemilu yang tampak mengemuka.Â
"Apakah dengan demikian isu ini dapat menjadi upaya menjadi sarana delegitimasi KPU dan hasil Pemilu 2019? Tentu tidak bisa dilihat secara linier sedemikian, karena hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab serta perhatian dan evaluasi para pihak terkait, termasuk KPU, Pemerintah dan DPR."
Padahal, tujuan persidangan pemilu serentak adalah mencegah potensi terjadinya kandidat tunggal, termasuk menghindari kompromi serta negosiasi politik jangka pendek. Melalui pemilu serentak sudah seharusnya tidak terdapat kendala untuk menghadirkan figur-figur alternatif kandidat calon presiden, tersebab adanya ajuan penghapusan Presidential Threshold.
Publik akan semakin kaya pilihan, sedangkan partai didorong untuk dapat mengajukan kader terbaiknya, atau bahkan membangun koalisi yang lebih bersifat permanen, karena belum ada hasil Pileg. Namun sayangnya, paket ajuan terkait Presidential Threshold justru dimentahkan. Hasilnya, sebagaimana terjadi saat ini.
Lalu tarikan besar pertanggung jawaban ada di mana? Tentu posisi KPU sebagai badan penyelenggara pemilu memiliki kewenangan strategis secara langsung, termasuk kemampuan dalam mencermati dan mengantisipasi teknis atas risiko-risiko yang terjadi.Â
Apakah dengan demikian isu ini dapat menjadi upaya menjadi sarana delegitimasi KPU dan hasil Pemilu 2019? Tentu tidak bisa dilihat secara linier sedemikian, karena hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab serta perhatian dan evaluasi para pihak terkait, termasuk KPU, Pemerintah dan DPR.
Korban atau Pahlawan?
Sesuai dengan judul tulisan ini, antara nyawa dan suara, maka kematian anggota KPPS menjadi korban dari lemahnya mekanisme antisipasi risiko. Rentang persoalan dimulai dari mekanisme rekrutmen, penentuan batas umur, prasyarat kesehatan, hingga pengaturan waktu dalam pelaksanaan teknis.
Secara bersamaan, anggota KPPS yang gugur dalam tugasnya adalah pahlawan, karena memfasilitasi penyampaian suara publik. Karena itu pula harus terdapat upaya dalam menghargai jasa yang telah dilaksanakan sebagai kompensasi sepadan.
Prinsipnya secara reflektif perlu ada upaya perbaikan serta pembenahan proses pemilu, hal itu menjadi penting dalam catatan demokrasi kita yang penuh dengan kepiluan kali ini.Â
Dengan segala kejadian dalam pemilu kali ini, teringat Michael Polanyi seorang pemikir Hungaria tentang pola kerja dokter dalam menyingkap penyakit, diperlukan kemampuan melakukan anamnesa metode tanya jawab, untuk menegakkan diagnosa serta memberikan terapi penyembuhan.