Penting untuk dicermati pernyataan AHY sebagai Kogasma bagi partai Demokrat, bahwa kondisi pemilu serentak tidak menguntungkan bagi partai tersebut, maka langkah double track dicanangkan. Secara riil, Demokrat memang tidak mendapatkan coattail effect, karena perolehan suaranya berdasarkan QC Kompas untuk Pemilu 2019 turun menjadi 8.03%.
Pragmatisme Koalisi
Bergabungnya Demokrat dalam dukungan kepada Koalisi Adil Makmur berlangsung bukan tanpa halangan, bahkan berkali-kali berbenturan. Persoalan kardus, kritik tentang lambannya Prabowo turun ke basis pemilih disuarakan. Meski kemudian ketika tampil dimuka media tampak menjadi barisan loyal, kita tidak pernah mengetahui dengan pasti bagaimana peran dan panggung itu dimainkan.Â
Terakhir, soal kehadiran AHY hadir ke istana sebagai upaya membagun komunikasi politik sekaligus memenuhi undangan Jokowi tidak bisa dilepaskan dari pembacaan tentang arah hasil pemilu dan peta jalur untuk mendorong garis orbital AHY.Â
Tentu aksi simbolik kendaraan dengan plat B 2024 AHY tidak bisa diabaikan begitu saja sebagai makna dari pesan yang hendak disampaikan. Menatap 2024 bagi AHY menjadi sangat mungkin bila ada ruang dan panggung berlatih di dalam kekuasaan, dan untuk itu undangan Jokowi bak gayung bersambut.
Terlebih, isu reshuffle kabinet dimungkinkan terjadi ketika santer diberitakan beberapa menteri akan digantikan terkait dengan kasus yang disidik di KPK, kans AHY tentu menjadi bertambah dalam peluang untuk masuk jajaran kabinet. Logika yang dapat dibaca, AHY dapat menjadi titik kompromi ketika SBY sebagai figur Demokrat justru tidak bisa diterima oleh partai penguasa yakni PDIP.
Maka pernyataan setan gundul yang menjadi pemasok informasi keliru akan klaim kemenangan Prabowo, bagi rekan koalisi Adil Makmur sebagaimana yang dilontarkan Andi Arief, adalah upaya membangun benteng narasi dalam rangka melindungi kepentingan partai Demokrat dan putra mahkotanya. Terdapat alasan rasional bagi Demokrat untuk berpindah, bila setan gundul masih ada dalam koalisi.
Metafora setan gundul tentu tidak merujuk pada individu personal, mungkin juga soal kelompok lain yang bersenyawa dalam koalisi. Bisa siapa saja, karena tidak menyebut nama, tetapi ada kemungkinan terkait PA 212 dan Ijtima Ulama yang selama ini didengarkan oleh paslon Prabowo-Sandi, atau mungkin hanya Andi Arief yang mengetahuinya?.
Sekali lagi, politik tengah itu tidak selalu ditengah, membiarkan diri di tengah itu adalah langkah strategis, menjadi elemen yang diperebutkan untuk dapat ditarik ke kanan ataupun ke kiri. Dan kali ini tatapan Demokrat adalah 2024 dengan mencoba mempersiapkan karpet menuju istana pada lingkar kekuasaan, tentu jika tidak di veto ditengah jalan!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H