Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jalan Terjal Infrastruktur

18 April 2019   08:52 Diperbarui: 18 April 2019   09:06 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang tersisa dari pembangunan infrastruktur yang masif? Buku Jamie S Davidson berjudul Menaja Jalan, Ekonomi Politik Pembangunan Infrastruktur Indonesia dalam 503 halaman menjadi referensi menarik untuk dijadikan bahan diskusi bersama.

Pembangunan fisik kerap kali dijadikan sebagai alat monumental, untuk mengindikasikan keberhasilan pembangunan. Padahal ada banyak persoalan yang muncul bersamaan dengan indikator kesuksesan tersebut. Mekanisme efek pengganda ekonomi yang kerap disebut multiplier effect, seringkali berada dalam asumsi imajiner.

Mengapa demikian? Salah satunya disebabkan karena dampak dari harapan akan adanya peningkatan arus mobilisasi ekonomi, dalam kerangka ekonomi produktif, justru berakhir sebaliknya. 

Pesatnya pembangunan jalan komersial, menciptakan arus konsumtif, menjadikan integrasi ekonomi kita dalam kendali kekuasaan pihak asing.

Benarkah sentimen tersebut? Buku ini menerangkan berbagai persoalan legal dalam konteks keadilan sosial yang sedemikian timpang antara elit dan publik. Tercerabutnya akar sosial masyarakat akibat maraknya pembangunan jalan tol komersial, adalah bentuk kesewenangan dan represi negara. Pengusiran paksa, atas nama pembangunan terjadi. 

Kajian Ekonomi Politik

Dalam kerangka ekonomi politik, infrastruktur sering dinyatakan sebagai janji dalam kampanye, dijadikan bukti keberhasilan pembangunan, sementara pada saat yang bersamaan terjadi keterpinggiran masalah riil publik. Proyek berdampak jangka panjang, dilontarkan sebagai argumen, padahal imbas penanggungan beban hutangnya bersifat langsung.

Model pembiayaan berbasis hutang ini menjadi persoalan dari masa ke masa, tentu saja disebabkan karena pembangunan infrastruktur jalan komersial membutuhkan biaya teramat besar dari mulai aspek pengadaan lahan, pembangunan jalan hingga aspek perawatan yang akan diselesaikan dalam periode konsesi operasionalisasi.

Biaya hutang berbentuk konsolidasi hutang baik di dalam maupun luar negeri, menjadi permasalahan saat masuk dalam pertanggungan pemerintah. Beban anggaran negara terserap secara dominan. 

Era jalan komersial dimulai sejak Orde Baru, dimana negara bekerjasama dengan lingkar elit untuk berburu rente atas keuntungan pembangunan jalan komersial.

Kajian logika pada permasalahan jalan komersial, terjadi dalam ruang dimana pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan pemenuhan kebutuhan jalan sebagai arus transportasi sebagai hak dasar publik. 

Pembangunan jalan di tanah air secara kolosal pernah dimulai pada zaman kolonial, terbentang sepanjang Anyer-Panarukan, yang menjadi jalan pos untuk kepentingan keamanan serta kedudukan Belanda dibawah Gubernur Jenderal Daendels.

Prioritas Sekunder

Lalu dimana letak kedudukan jalan komersial? Sifatnya tentu sekunder dalam tata urutan pembangunan, setelah pemenuhan hak dasar atas jalan publik telah tuntas diselesaikan. 

Bukan sebaliknya, hak dasar jalan publik tidak terpenuhi secara optimal, lalu inisiatif pembangunan jalan komersial menjadi solusi pamungkas.

Dalam tinjauan Davidson, tender infrastruktur sering menjadi kavling bagi kepentingan ekonomi politik elit, yang mencari keuntungan dengan melakukan penjualan kembali hak atas konsesi ruas tol yang dimiliki kepada pihak lain. Keuntungan dari rente tersebut pada akhirnya juga akan mengalir untuk kepentingan politik.

Mengapa begitu? Karena melalui regulasi dan aturan yang dibentuk pada jalur politik lah, kavling-kavling sumber ekonomi dapat diambil oleh para elit. 

Pada bentuk yang lebih rinci dalam menerangkan kepentingan ekonomi, maka terhentinya pembangunan infrastruktur dasar jalan publik, dapat dimaknai sebagai alasan untuk menstimulasi usulan jalan komersial dengan berbagai konsekuensinya.

Lalu, apa hakikatnya yang primer dalam pembangunan? Sejatinya manusia adalah tujuan terbesar pembangunan, jangan terbalik, infrastruktur selesai baru manusia dibangun, karena dengan demikian hal tersebut semakin menegaskan bila unsur manusia terdegradasi dalam ukuran pembangunan fisik.

Jadi apa yang tersisa sesuai pertanyaan diawal atas semua proyek pembangunan tersebut? Pertama: penataan ulang pembangunan fisik berdasarkan prioritas, Kedua: kebersamaan dalam merumuskan kepentingan manusia sebagai modal kekuatan bangsa, Ketiga: penguatan basis negara kepulauan dengan basis utama.

Jangan sampai manusia terlupakan dari lajunya derap pembangunan, tak terlihat dalam banyak kesempatan, kecuali ketika pemilihan umum menjelang diperhitungkan hanya sebagai angka-angka!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun