Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kegagalan Narasi Kampanye Politik

16 April 2019   09:05 Diperbarui: 16 April 2019   09:07 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbandingan menarik terkait dengan politik Islam dapat dibaca melalui Vedi R Hadiz dalam Popularisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah. Sesuai dengan basis penelitiannya, dua gerakan yang menjadi role model politik Islam adalah Ikhwanul Muslimin di Mesir dan AKP Turki. Kajian buku itu menempatkan politik Islam, sesungguhnya adalah bentuk lain dari popularisme Islam, dengan memanfaatkan momentum serta sentiment keterpinggiran populasi Islam.
 
Sejalan dengan itu, terjadi transformasi publik menjadi terkategorisasi tunggal secara homogen yakni ummat. Disisi lain, tidak terdapat alasan yang signifikan, untuk melihat secara berlebihan popularisme Islam, dengan konversi radikalisasi, karena adopsi demokrasi telah dipilih sebagai jalur mencapai kekuasaan. Temuan telaah akademik, justru menyiratkan popularisme Islam tidak lain adalah bentuk dari oligarki politik yang menggunakan celah identitas ke-Islaman.

Masa Depan Politik Identitas

Sekali lagi, narasi tentang Khilafah dan gerakan radikal adalah cara usang untuk menciptakan ketakutan psikologis. Dengan seluruh kajian diatas, maka politik Islam atau bahkan popularisme Islam adalah elemen dan bagian dalam mewarnai demokrasi. Pluralisme adalah bentuk pengakuan terhadap entitas berbeda, termasuk pada persoalan identitas ideologis.

Lalu, apakah politik identitas akan hilang? Diluar stereotype Islam yang tampil dalam wajah yang dicitrakan secara keras, maka kejadian Selandia Baru dengan aksi teror Christ Cruch, adalah realitas terbaru dalam melihat radikalisme. Supremasi kulit putih menjadi dasar penting dari apa yang terjadi pada kasus tersebut. Hal ini semakin menguatkan premis bahwa popularisme dapat dibangun dengan menggunakan berbagai sentiment.

Sesungguhnya politik identitas adalah representasi semua kepentingan politik hari-hari ini, yang menjelma menjadi garis tebal demarkasi, antara kami dan kalian. Setiap kelompok membawa serta simbol-simbol secara tersendiri. Problem yang harus dicermati adalah kemampuan pengelolaan batas toleransi, ada nilai-nilai sosial, yakni konsensus dalam konstitusi serta moralitas atas nilai spiritualitas.

Maka kemudian kita akan melihat kelompok Muslim, pemeluk Agama Islam yang dominan di negeri ini, dalam partisipasinya di bidang politik dan kenegaraan. Termasuk, berkaitan dengan kegairahan untuk melaksanakan perbaikan kehidupan religiusitas yang bersendikan nafas keagamaan, yakni Islam sebagai tiang pokoknya. 

Dengan demikian politik identitas akan selalu tetap ada, dan sekali lagi isu dalam kampanye politik terkait Khilafah adalah tema yang sudah kadaluarsa serta tidak laku lagi. Terlebih ketika Islam sebagai sebuah Agama memiliki cakupan aspek horizontal antar manusia, bersama dengan muatan kaidah relasi vertikal dengan Sang Khalik, yang mampu diakomodasi pada alam demokrasi!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun