Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Menanti Pembuktian Survei

5 April 2019   02:32 Diperbarui: 6 April 2019   16:25 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagai lembaga survei berseliweran. Hasil yang diperoleh pun memiliki beberapa perbedaan. Publik paham bila survei memang tidak bebas nilai. Disisi lain, survei kemudian tidak lagi menjadi cerminan realitas, melainkan sekaligus mengkonstruksi realitas.

Mengapa demikian? Karena survei dapat dipergunakan sebagai alat dan instrumen pembentuk opini publik, menyodorkan interpretasi secara sepihak, menggunakan data sebagai fakta yang penuh dengan kepentingan. Terlebih survei adalah kombinasi tindakan ilmiah berbasis statistik, yang berbalut aktivitas bernilai ekonomi.

Apa relasi ekonomistik survei? Jelas bahwa dalam penyelenggaraan survei, dibutuhkan biaya pendataan sebagai tahap primer. Wawancara dengan model tatap muka membutuhkan ongkos operasional. Total biaya, silakan dikali saja dengan jumlah responden yang terlibat. Pada aspek lain, hasil survei juga bisa berupa bentuk order pesanan dari pihak yang berkepentingan, maka ada nilai nominal disana.

Di tahun politik, survei biasanya menjadi satu bagian pekerjaan dari profesi baru bernama konsultan politik. Spektrum kerjanya dimulai dari pembentukan personal branding calon, penentuan tema kampanye, setting bentuk kegiatan calon, survei dan pembentukan opini, termasuk kalkulasi pasca pemilihan. Ibarat pasar modern konsepnya one stop shopping. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut.

Kesalahan terjadi ketika ada upaya untuk melakukan pemaksaan fakta. Padahal prinsip utamanya, data dan fakta adalah kebenaran yang tidak dapat diragukan serta ditawar lagi. Berbeda dengan keharusan data yang sahih, interpretasi bisa multitafsir sesuai selera dan sudut pandang.

Kalau begitu, maka ada ruang dalam survei yang masih remang-remang, pertama berhubungan dengan siapa yang menjadi penyandang dana, kedua terkait aspek teknis pengumpulan data, dan ketiga berkenaan pada penarikan kesimpulan serta interpretasi, hingga keempat bagaimana design opini yang hendak disampaikan didistribusikan pada publik.

Sekali lagi, survei adalah alat ukur, maka pelaku survei adalah aktor yang akan menentukan, sutradaranya adalah penyokong dana. Apakah survei bisa bebas nilai? Mungkin saja bila terafiliasi pada lembaga pendidikan tinggi dengan menggunakan modal internal, atau lembaga survei swasta yang memiliki kapasitas besar secara independen.

Mana yang Bisa Dipercaya?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, karena statistik memiliki celah untuk meleset alias tidak akurat, maka ada margin of error. Kesalahan terjadi mulai dari pengambilan sampel, pengolahan data, hingga penarikan kesimpulan, belum lagi jika menghitung kepentingan pesanan sebagai faktor tambahan pembentuk kesalahan.

Padahal kejujuran adalah kunci penting dalam statistik. Boleh salah tapi tidak boleh berbohong, itu diktum dasar ilmu statistik. Bagaimana jika kesalahan dibuat untuk mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang diinginkan? Hal itu menjadi sebuah kejahatan, karena telah diboboti dengan perencanaan sebelumnya. 

Kembali pada soal siapa yang bisa dipercaya? pertama tentu saja kepada mereka yang berani membuka secara terus terang siapa pendananya, kedua bisa dilihat reputasinya, ketiga terlacak melalui kredibilitas individu peneliti utamanya. Bukankah survei bersifat dinamis? Benar, bisa saja ada kesalahan alamiah error yang dapat bertanggung jawab, atau menjadi error sistematik terencana.

Dalam situasi dimana lembaga survei berlomba membuktikan akurasinya, maka jangan terburu-buru mempercayainya sebagai kebenaran. Ingat bahwa tujuan survei juga bisa mengkonstruksi realitas, tujuan akhirnya pembentukan opini publik. hal tersebut, pada muaranya akan berkontribusi pada efek persepsi psikologis, dikenal sebagai bandwagon effect, publik mempercayai hasil survei dan mengikutinya.

Dampak gema dari publikasi survei diamplifikasi media massa dan kemudian menjadi pembicaraan publik, diangkat menjadi sebuah viralitas yang pada bagian akhir dipersetujui publik sebagai realitas kebenaran, padahal telah terkonstruksi sebelumnya.

Quick Count membuktikan Survei?

Jelang hari pencoblosan, beberapa lembaga survei akan merilis hasil akhir tahap uji publiknya. Tentu saja ini menjadi periode krusial, karena isu yang berkembang mendekati hari pemilihan adalah tema yang lebih melekat dalam memori pendek ingatan publik, sekaligus memiliki dampak besar pada orientasi pilihan publik.

Upaya terakhir para lembaga survei tersebut, tentu tidak lepas dari kerangka kepentingan guna memastikan bahwa tujuan akhirnya terlaksana. Bentuk konfirmasinya nanti akan ditangkap melalui kalkulasi quick count. Bila survei adalah proyeksi pra-pemilihan, maka quick count adalah perhitungan riil pasca hasil pemilihan. Pembeda keduanya adalah unit sampelnya, karena survei berbasis data individu, maka quick count bersumber pada angka hasil pemilihan.

Seharusnya bila objek pengolahan datanya telah berupa angka, maka tidak mungkin memberikan hasil yang berubah. Tetapi, harus diingat kembali quick count juga merupakan metode statistik. Dengan demikian ada kemungkinan bias metodologi, dimana aspek pembiasan itu bisa terjadi natural atau by design. Tahap final memang akan bergantung rekap KPU selaku penyelenggara pemilu.

Jadi bagaimana keluar dari situasi penuh ketidakpastian tersebut? Pertama, tempatkan survei dan quick count nanti sebagai alat bantu membaca, sifatnya pendamping, maka jangan dipercaya secara mutlak. Kedua, Anda mudah melihat dan mendengar dari relasi sosial dimana Anda berada, ke mana angin berhembus? Apakah ada kepuasan ataukah terdapat ketidakpuasan disana? Ketiga, Andalah aktor perubahan, maka manfaatkan dengan baik periode pencoblosan dengan memilih kandidat terbaik.

Bila dianalisis secara kualitatif, pada lingkungan penulis, maka banyak "mualaf politik" dan kecenderungan untuk melakukan penyegaran suasana kehidupan politik kita, nampak angin perubahan mulai berhembus kencang. Terlebih setelah UBN, UHF terbuka menyatakan dukungan  pada salah satu kandidat dipenghujung akhir, menyusul Ust Haikal Hassan, HBS dan TZ. Kita tentu menunggu Aa Gym, Ust Arifin Ilham dan UAS bersuara.

Bila demikian, mungkinkan quick count menjadi pertaruhan kredibilitas lembaga survei? Tentu saja, dengan mengingat bahwa kejujuran adalah hal yang utama didahulukan, sebagai penjaga kesucian metode ilmiah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun