Tantangan terbesar media konvensional, termasuk cetak pada abad modern dimana koneksi informasi berjejaring melalui teknologi internet yang bersifat real time adalah kemampuan updating respon yang memang terjeda. Keunggulan media online adalah kemampuannya dalam tahap speed, dimana akurasi menjadi tahap kedua melalui fase depth.
Situasi tersebut berbeda dengan perilaku media cetak, karena jenjang birokrasinya bertahap. Ninok bahkan perlu menjelaskan dapur redaksi, dimana rapat pagi dan sore dilakukan untuk penetapan pemberitaan, dimana penentuan akhir dilakukan secara kolektif. Peran Pemimpin Redaksi adalah atribut figur yang hanya akan bertindak, bila ada hal penting yang tidak dapat diselesaikan melalui kesepakatan kolektif.
Pada kajian media, kita mengetahui bahwa penentuan sebuah ketertarikan akan suatu tema informasi akan berdekatan dengan, (a) aspek individu, peminatan jurnalis, (b) rutin media, melalui rapat redaksi, (c) level organisasi, terkait dengan hirarki struktural hingga pemilik, (d) ekstra media, berkenaan dengan khalayak dan aturan legal, dan pada tingkat terluar (e) ideologi terkait dengan kepentingan ideologis media.
Tidak mudah tentu mengambil titik keseimbangan dari berbagai aktivitas tersebut, terlebih untuk kemudian menjadikannya sebagai panduan dalam penetapan tema serta isu yang akan diangkat melalui media. Ada dua kaki yang harus dipertahankan, yakni sisi idealisme dan bagian komersial bisnis, antara isi kepala redaksi dan minat pembacanya.
Sosial Media Buah Konvergensi
Pada bagian akhir tulisannya, Ninok juga mengungkapkan bahwa terjadi shifting media kearah sosial media. Konvergensi melalui teknologi media memang sebuah keniscayaan. Tinjauan yang terkait dalam sebuah proses transisi konvergensi informasi, dikaitkan dengan tingkat interaksi dan kemudahan akses, terlebih ada perilaku baru yang meruntuhkan otoritas redaksi, yakni sikap prosumer di tingkat masyarakat.
Sekali lagi, melalui pendekatan McLuhan maka kondisi determinisme teknologi kali ini, menghadirkan realitas baru dari karakteristik sosial yang semakin horisontal, membenarkan apa yang disebut Tom Nichols akan era dimana kepakaran menjelang kematian dan tidak dipedulikan publik, atau yang coba dinyatakan Ninok sebagai masa post truth, periode ketercampuran antara kebenaran dan kebohongan sebagai senyawa.
Hal terpenting dalam sosial media, adalah kemampuan verifikasi yang perlu dilakukan oleh publik itu sendiri, sebagai bagian dalam kerangka literasi, memilih dan memilah apa yang dianggap sebagai informasi yang benar dan terpercaya. Kita jelas membutuhkan waktu untuk sampai pada tahap tersebut, menstimulasi kedewasaan netizen dalam bersosial media.
Ditengah gelombang surut senjakala media cetak, apa yang terjadi dengan Kompas melalui survei elektabilitas politik Pilpres ini, membuktikan bahwa ruang kerja redaksi media konvensional tergagap menghadapi media baru bernama sosial media, meski sesungguhnya Kompas memiliki infrastruktur multiplatform yang dapat dipergunakan untuk merespon situasi percakapan publik dalam sentimen yang negatif berpotensi menggerus kredibilitas serta integritas Kompas itu sendiri.
Mungkinkah ini menjadi bagian dari agenda yang ter-setting? Perlu dilihat akankah Kompas akan melakukan rotasi dan pergantian pucuk redaksinya, sebagai bentuk pernyataan kekeliruannya, ataukah dapat diduga memang Kompas tengah menyiapkan strategi dua kaki dengan membaca kecenderungan lain dalam anomali Pilpres kali ini.Â
Bukankah kepuasan pada kinerja petahana yang 70 persen, ternyata tidak lantas menguatkan posisi elektabilitasnya hanya terkonversi 50 persen, terlebih dampak kompatriot pasangan calon, hanya memberi efek minimal pada pembentukan elektabilitas baru, sekitar 5 persen saja?.