Dititik Ketiga: mengetahui medan pertempuran, bahwa debat terkoneksi pada kelompok perkotaan yang modern, terkonsentrasi di Jawa, dengan akses informasi terbuka, baik untuk lapisan muda dan tua. Sementara, debat dapat pula dimaknai berbeda pada kelompok pedesaan dan tradisional, berasosiasi non Jawa. Dengan begitu harus ada upaya infiltrasi gagasan yang melekat, dan tidak menyandarkan sisi pada kemenangan wacana terlebih hanya di ruang sosial media semata. Kelompok yang sebelumnya dikarakteristikan sebagai lapisan apolitis seperti para pemuda, pemilih pemula, kaum millennials perlu di touch up agar lebih dekat dengan figur kandidat.
Untuk bagian Keempat: hal ini terkait dengan persona individu, bahwa karakter dalam watak kandidat harus ditampilkan utuh. Bisa dibantu dengan tim pembentuk citra, tetapi baseline pada pondasi dasarnya tidak menghilangkan keaslian jati diri. Debat membutuhkan kelihaian, mampu merespon secara sigap, memberi jawab yang lugas dan tangkas dalam mengajukan pertanyaan. Perlu jam terbang yang tinggi dan terbiasa dengan diskusi mendalam. Sekaligus mampu berpikir kritis, dalam kesadaran untuk mengendalikan faktor emosi psikologi, sebagai sebuah bentuk dari kematangan kepemimpinan
Kombinasi melalui keempat point Sun Tzu tersebut, upaya strategi pemenangan dapat lebih terukur dan terarah. Hal tersebut dapat diimplementasikan, pada laga debat yang masih tersisa nanti. Kalau begitu, kita kembali ke pertanyaan siapa pemenang debat kali ini? Tentu yang paling minimal melakukan blunder dalam pemakaian data dan kata, serta menunjukan gagasan besar dalam konsepsi pengelolaan negara. Detail jelas diperlukan, tetapi tidak menghilangkan esensi atas kepemimpinan yang bukan hanya sekedar manajerial aspek!
(Sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H