OUT OF THE BOX! Kira-kira demikian yang hendak disampaikan Seth Stephens-Davidowitz, melalui bukunya Everybody Liessetebal 315 halaman itu. Keberadaan teknologi informasi, melalui jejaring internet menghadirkan realitas baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dengan begitu, terdapat cara-cara baru dalam beradaptasi atas situasi yang berubah tersebut, tidak lagi dapat mempergunakan metode dan model pengukuran secara tradisional untuk dunia "Jaman Now".
Dalam paparan yang disampaikan Seth, tergambar bagaimana setiap hari produksi jejak digital menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian kita. Integrasi data melalui internet, khususnya Google dan aplikasi sosial media semacam Facebook, menjadi gudang data yang tidak terhingga atas seluruh populasi bumi. Kehadiran Big Data yang terkumpul sekaligus berserakan dijagad maya tersebut, pada akhirnya dapat dipergunakan untuk menjelaskan perilaku kehidupan manusia.
Kesimpulan utama yang terlihat secara nyata dari forensik digital tersebut adalah, kita hidup dalam kebohongan. Maka tidak bisa lagi dipergunakan indikator survei semata sebagai sebuah hasil yang valid, karena kerapkali ada ruang tersembunyi yang tidak terungkap melalui mekanisme statistik tersebut. Dengan demikian, kita tidak bisa percaya hasil survei begitu saja, ini yang berdasarkan hasil kajian Seth menjelaskan fenomena kemenangan Trump pada pemilu di Amerika.
Publik kerapkali menghindari konfrontasi terbuka, menyembunyikan keberpihakan dan simpati secara langsung, tetapi dapat terlihat dari perilaku dan tingkah gerak digitalnya. Ruang anonimitas, membuka kesempatan ekspresi orisinal dari individu tanpa sekat penutup. Sejalan dengan itu, upaya untuk dapat menafsirkan perilaku sebagaimana model psikoanalisa Freud mengalami situasi yang tidak lagi sama, ada dinamika eksternal yang hadir bersamaan dengan kelahiran Big Data.
Sebagaimana Freud mencoba menempatkan objek kajiannya, bahwa manusia adalah entitas libido yang tengah mencari format ekspresi atas represi yang dihadapinya, ternyata tidaklah sedemikian hasil temuan dalam psikografi netizen di dunia digital. Tidak terdapat motif tunggal dari kecenderungan perilaku yang hendak dijelaskan, tetapi terdapat tendensi penyerta yang dapat dijadikan sebagai alat analisa sekaligus predictor, untuk melakukan proyeksi potensi dikemudian hari.
Hal ini, kemudian yang direkam melalui kejadian Trump, psikografi populasi di Amerika dalam konteks pilihan politik, tidak menempatkan diri pada konteks yang melingkupinya, tetapi selalu terkait dengan konten yang diusung. Trump, meski seolah-olah dikalahkan melalui berbagai survei, tetapi sesungguhnya konten tawaran yang didegungkannya mengalami resonansi dengan khalayak pemilih, hal itu juga yang terlihat dari data digital terkait Google Trend, pada persoalan terjadinya pengelompokan populasi ras kulit putih sesaat sebelum pemilihan.
Upaya Seth dalam melakukan eksplorasi data, melalui Google sekaligus memberikan gambaran bahwa kita tidak bisa lepas dari artifak digital yang kita tinggalkan pada dunia online. Termasuk didalamnya aspek privat, alamat email, password, situs yang sering dikunjungi, perilaku dalam kebiasaan akses, bahkan pilihan kata dalam update statussosial media kita, menjadi sebuah algoritma yang menempel dalam kesejarahan individu. Jadi jangan bertindak gegabah.
Kuasa Data
Melalui Big Data, maka perilaku dapat diukur melalui pendekatan ilmiah seperti halnya sains. Pangkal persoalannya, adalah siapa yang kemudian memiliki kuasa atas mahadata tersebut. Berbagai perusahaan aplikasi dan platform digital kini menampung kesemua data tersebut, dan mengambil celah keuntungan yang dapat dibuat dari pencermatan perilaku. Semisal melakukan pop-up iklan bagi penawaran produk yang sedang dicari oleh individu, dengan melihat pola belanja digitalnya.
Di dunia maya, manusia memang berhadapan dengan ketercampuran kebohongan yang manipulatif, bersamaan dengan tindakan jujur. Trending topic dan hashtag di sosial media kerapkali merupakan setting bot, tetapi juga acapkali bersesuaian dengan persepsi individual maupun publik. Khususnya pada arena politik, maka hoaks kemudian menjadi tidak terhindarkan, mendistorsi kebenaran dan bahkan menjadi sebuah realitas baru yang dipercayai. Maka sumber Big Data perlu hati-hati dikelola bila bersentuhan dengan kekuasaan, baik dalam bentuk pemerintah maupun korporasi.
Karena eksploitasi Big Data bisa jadi hanya menempatkan manusia sebagai objek pasif untuk kepentingan tertentu. Kita tentu memiliki harapan, keberadaan harta yang tidak ternilai dalam bentuk Big Data tersebut dapat dipergunakan untuk kepentingan nilai-nilai kemanusiaan. Mendorong kemajuan dan perbaikan kualitas kehidupan, bukan sebaliknya menjadi ancaman bagi eksistensi kehidupan manusia, karena dominasi hegemoni pada penguasaan Big Data tidak bebas nilai.
Internet menghadirkan konsekuensi yang sama bagi kebaikan maupun keburukan, sejauhmana kita mempergunakannya. Demikian pula dengan Big Data, yang baru dalam tahap awal sekali diperhatikan dan dicermati sebagai kajian dalam telaah perilaku manusia. Meski masih dalam tahap awal eksperimentasi, tetapi perlu dipastikan terdapat etika yang dipergunakan guna melakukan pendekatan pada kepentingan pengolahan Big Data, yakni memastikan bahwa keberadaannya tidak justru men-dehumanisasi sisi kemanusiaan menjadi sekedar angka statistik semata.
Terutama pada kaitan dengan demokrasi, rasionalitas publik dapat diganggu oleh rasionalitas teknokratik yang sangat instrumentalis, mempergunakan teknologi untuk kepentingan pemenangan kandidat dan kelompok politik tertentu, tanpa memandang dampak buruk yang mungkin hadir sebagai konsekuensi logis dari tindakan tersebut. Lagi-lagi fenomena Trump menjadi menjadi sumber inspirasi sekaligus objek kajian yang menarik, terkait dengan perilaku politik manusia dalam kehidupan berganda di dunia digital!. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H