Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Urun Biaya dalam Logika BPJS Kesehatan

22 Januari 2019   10:03 Diperbarui: 23 Januari 2019   12:37 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Winarno dan Hendrik, warga binaan Panti Sosial Bina Insani, Cipayung, Jakarta Timur, menunjukkan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, beberapa waktu lalu. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

Sebagai langkah dalam strategi keuangan, maka mekanisme pengenaan biaya tambahan untuk sebuah layanan ekstra diluar standar ditetapkan, tentu tidak dapat dipersalahkan, terutama karena pilihan layanan telah melampaui hak dasar.

Sama seperti itu pula, sistematika berpikir dari mekanisme urun biaya yang akan dilakukan BPJS Kesehatan, meski perlu ditunggu turunan bentuk formulasi teknisnya nanti, karena masih menjadi diskusi para pihak pembuat kebijakan dengan berbagai stakeholder lainnya.

Meski dapat dibenarkan dalam kerangka kalkulasi pembiayaan kesehatan, namun ketika tujuan perlakuan tersebut difungsikan dalam upaya mengendalikan defisit layanan BPJS Kesehatan, maka kita perlu secara cermat memastikan bila langkah yang diambil memberi dampak optimal.

Jangan sampai, alternatif model penyelesaian dari kondisi jebolnya kas BPJS Kesehatan tersebut justru menimbulkan masalah baru yang lebih luas di tingkat operasional, yakni kisruh pelayanan antara pasien dan pihak rumah sakit beserta tenaga medis. Hal ini harus diantisipasi agar solusi yang dihadirkan bagi permasalahan BPJS Kesehatan dapat bersifat permanen serta mampu memastikan keberlanjutan program kesehatan nasional itu sendiri.

Tentu saja, kompleksitas persoalan yang dihadapi BPJS Kesehatan terkait luas dan besaran layanan, akan membutuhkan perbaikan berkesinambungan, tetapi pemahaman terhadap substansi masalah mendasar dari apa yang dialami pada fenomena defisit program BPJS Kesehatan perlu ditempatkan sebagai fokus utama penyelesaian secara fundamental.

Lantas apa yang paling utama dari skema persoalan BPJS Kesehatan? Bagian mana dari identifikasi permasalahan yang menduduki peringkat tertinggi dalam prioritas persoalan? Tata urutan masalah harus dipetakan, dan mulai merumuskan format jawaban, yang memberi dampak pareto bagi kontribusi penyelesaian secara dominan, kita bermain di level penuntasan hal besar.

Pada uraian, atas masalah yang dialami BPJS Kesehatan maka setidaknya terdapat beberapa masalah yang bersifat mayor dan mengemuka, diantaranya, terkait (a) nilai premi tidak bersesuaian dengan kalkulasi aktuaria, (b) budaya terlambat membayar kewajiban dari pasien, (c) potensi inefisiensi pengelolaan program, (d) moral hazard -penyimpangan penggunaan diluar hak, dan (e) fraud -indikasi kecurangan untuk memperkaya pemberi layanan.

Bila kemudian ke semua indikator tersebut, dikorelasikan dengan timpangnya total premi berbanding nilai klaim, yang berakibat pada defisit menahun, maka perlu kacamata yang presisi melihat akar masalah. Secara manajemen, pendekatan pengambilan keputusan dengan berdasarkan atas kumpulan masalah, dimulai dengan penetapan masalah terbesar dan terberat. Lalu apa masalahnya di persoalan BPJS Kesehatan?.

Iuran Pangkal Soal

Benarkah premis dalam judul tersebut? Tidakkah terlalu menyederhanakan persoalan? Simplifikasi adalah bagian dari cara menyelesaikan masalah, meski tidak boleh jatuh pada over generalisasi secara berlebihan. Mengapa iuran menjadi masalah yang utama? Karena pada penentuan premi, terletak beberapa kompleksitas.

Pertama: nilai iuran yang berada dibawah perhitungan aktuaria sebagai pendekatan berbasis simulasi kesehatan publik, membuat situasi defisit sebagai situasi yang tidak dapat dihindari dan sudah terprediksi.

Kedua: ketika iuran ditetapkan sedemikian rendah, maka efek psikologis bagi konsumen adalah meremehkan, kondisi ini menjelaskan perilaku budaya taat membayar premi menjadi terabaikan.

Ketiga: konsekuensi premi yang kecil adalah tarif pembelian yang sama kecilnya, pada akhirnya nilai beli itu diaksep oleh institusi rumah sakit tanpa dapat menolak, tetapi kemudian berpotensi untuk bersiasat melakukan kerangka menjaga profitability layanan, sebuah hal yang masuk dalam kategori fraud.

Keempat: premi yang rendah dapat sekaligus mengilustrasikan komitmen pemerintah pada makna yang lebih mendalam. Mengapa? Karena dengan penetapan nilai premi yang rendah, khususnya untuk keseluruhan penerima bantuan iuran, berarti pemerintah berupaya agar beban pembiayaan subsidi kesehatan tidak menjadi tanggungan penuh pemerintah itu sendiri, ini soal political will.

Meski kemudian dapat dipahami, cara berpikir terkait pengendalian defisit BPJS Kesehatan dengan pengenaan urun biaya kali ini, tetapi hal ini seolah hendak melepas masalah utama terkait nilai iuran, menjadi dimensi masalah lain, yang justru berkategori minor. 

Perlu dipahami bahwa pelayanan kesehatan, akan sangat terkait pada persoalan kualitas mutu untuk menghindari kesakitan dan kematian. Mampukah kita menjawab logika tersebut?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun