Paska divestasi perusahaan tambang Freeport, akhirnya dengan porsi mayoritas 51.23 persen saham dikuasai Pemerintah Indonesia, melalui PT Inalum dengan membayar 3.85 miliar dollar AS, kita tentu berharap hal-hal baik hadir bersamaan dengan kesepakatan besar tersebut.
Tulisan ini tidak hendak menggugat keputusan tersebut, toh sudah terjadi deal dan transaksi yang menyertainya. Tentu kapasitas para pemikir dan intelektual ekonomi, yang menjadi think tank bagi kesepakatan tersebut memiliki basis argumentasi penguat keputusan.
Sesungguhnya, dalam perlintasan horison waktu, kita berhadapan dengan realitas masa lalu, kini dan masa mendatang. Sehingga dengan demikian, kita perlu mempersiapkan masa depan, sebagai konsekuensi atas pilihan-pilihan yang telah diambil saat ini. Maka menjadi penting untuk dapat mempertimbangkan sisi yang berbeda, dari apa yang disampaikan para pengkritik kebijakan atas aksi divestasi Freeport tersebut.
Mengapa begitu? Tentu agar kita tidak terlalu terbuai, dengan apa yang dianggap sebagai momentum kemerdekaan kedua -setelah proklamasi 1945, merujuk pada euforia atas keberhasilan akuisisi saham mayoritas Freeport. Sisi skeptikal menjadi spirit untuk menjaga nalar dan rasionalitas, dari sebuah ide hegemonik. Ketidakmampuan untuk menghadirkan dialektika, memutuskan potensi kemajuan.
Pengembangan kemampuan negasi secara internal, dalam konteks perdebatan wacana, menghindari terciptanya manusia satu dimensi yang linier, serta tidak kuasa memberikan analisis kritis dari fenomena sosial yang melingkupinya, sebagaimana perspektif Herbert Marcuse. Jadi kemampuan berpikir kritis atas masa depan paska pembelian saham Freeport, harus dilihat sebagai upaya untuk dapat memberi manfaat terbaik, sekaligus mencegah dampak terburuk tindakan korporasi negara.
Setidaknya, dua asumsi dasar yang dapat dijadikan pernyataan terbuka atas premis persetujuan divestasi saham Freeport, antara lain; Pertama: kita mengakui kemampuan pemerintah dalam pola pengambilan keputusan keras -hard decision atas persoalan Freeport, yang selama ini dalam kerangka memori publik dimaknai secara negatif. Berbagai hal seperti asumsi kerusakan lingkungan alam, belum berdampaknya aktifitas ekonomi raksasa itu dengan lingkungan sosial di Papua, hingga ketertutupan nilai eksploitasi dan produksi barang tambang merupakan indikator.
Pada point Kedua: keputusan ini dianggap signifikan, mengingat logika bisnis yang paling sederhana, yakni keinginan untuk melakukan perpanjangan kontrak bisnis tahap lanjut. Tentu tidak mungkin faserenewal bisnis dilakukan bila tidak terdapat nilai profit yang dianggap signifikan. Sehingga, setidaknya pada dua keputusan tersebut, maka opsi mengambil alih dengan menjadi pemegang saham pengendali menjadi terlihat masuk akal. Tetapi perlu pencermatan yang sederhana untuk melakukan penyeimbangan konsepsi pemikiran tersebut.
Titik Krusial
Menyikapi apa yang harus dilakukan setelah proses divestasi, maka catatan kritis yang menjadi titik tekan diantaranya adalah;Pertama: memastikan kapasitas Inalum dalam konteks organisasi dan teknis operasional bisnis, dalam mengembangkan serta memastikan kapasitas produksi, yang berkaitan dengan nilai hasil revenue dari keberadaan Freeport. Kenapa? Karena praktis penguasaan teknologi masih ada dalam domain softskill milik Freeport, proses daritransfer of knowledge tidak terjadi selama masa kontrak yang telah dijalani. Termasuk memastikan bekerjanya smelter, sebagai upaya untuk meningkatkan nilai jual hasil produksi dari sekedar memasarkan konsentrat barang tambang.
Lantas, kita tidak dapat mengelak posisi kita sebagai pengendali, sebagai bagian dari kondisi pemilik saham mayoritas, makaKedua: membuat strategi mitigasi risiko bisnis bila terjadi default, katakanlah prospek bisnis barang tambang dalam realisasi forecastmengalami kendala, maka harus ada pencadangan risiko, termasuk dalam memastikan pembayaran kembali global fund, yang dipergunakan dalam membeli saham Freeport. Kalkulasinya harus jelas, karena risiko kini telah menjadi wilayah yang diakseptasi sebagai tanggungjawab pemegang saham, apalagi dengan posisi pengendali.
Belum lagi menyoal dampak kerusakan lingkungan yang telah terjadi, kini risiko pengelolaan atas degradasi alam tersebut merupakan kewajiban yang tidak terpisahkan dari kerja kita sendiri, lantaran risiko telah terbagi. Bagi Freeport situasi ini tentu menjadi spreading risk -berbagai risiko, atas kepastian keberlanjutan bisnis, yang selama ini kerap mendapatkan kritik terkait massifnya dampak lingkungan, sosial dan minimnya kontribusi ekonomi
Dibagian penghujung, Ketiga: perlu dikelola secara profesional, dengan memastikan manajemen bisnis Freeport dilepaskan sebagai entitas usaha independen, bebas dari intervensi kekuasaan dan politik. Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah hal itu terjadi? Tentu sangat bergantung pada komitmen penyelenggara negara, dalam hal ini pemerintah itu sendiri. Masih lekat dalam ingatan tentang kisah "papa minta saham"yang mengilustrasikan bagaimana mekanisme politik, masuk secara vulgar untuk mengatur basic resource bernilai nominal mahabesar secara finansial.
Sehingga, momentum yang digadang-gadang sebagai kisah sukses ini, tidak berubah menjadi sebuah tragedi. Benar bahwa kita perlu membangun rasa optimisme, tetapi bukan berarti tidak mampu bersikap kritis dan memandang dalam kerangka yangskeptical, karena kita tentu was-was, bila terdapat tangan-tangan kuasa yang tidak terlihat lalu bermain dan memburu rente.
Akankah kita mampu mencapai tujuan besar tersebut? Perlu dicermati, tentu saja harapan bersama kali ini, aksi korporasi negara haruslah terukur dan detail, memberi dampak kesejahteraan dan manfaat sebesar-besarnya, bukan sekedar aksi spekulasi dengan pertaruhan yang teramat besar, karena dahsyatnya risiko yang harus ditanggung kemudian hari.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H