Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Kekuasaan Ala Foucault

4 Desember 2018   09:47 Diperbarui: 4 Desember 2018   10:01 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rumit! Sebagaimana para pemikir filsafat lainnya, Foucault tidak mudah dipahami dalam keterbatasan waktu yang singkat. Lamat-lamat, sembari berulangkali dibaca, terdapat pula berbagai runutan pemikiran tentang kekuasaan yang hendak disampaikan.

Berdasarkan interpretasi individual formulasi ala Foucault hendak disusun ulang, persis sebagaimana Foucault memaknai kebenaran yang mewujud dalam kekuasaan tidaklah bersifat tunggal, maka terdapat ruang bebas penafsiran yang terbuka.

Filusuf botak berkebangsaan Prancis ini, memang kontroversial hingga akhir hayatnya. Tidak dipungkiri pula keberadaannya, dimaknai sebagai bagian dari para pemikir besar yang berkontribusi di abad modern. Pemikiran Foucault tentu tidak bisa dipisahkan dalam ruang hampa yang ahistoris, terdapat pengaruh yang terjadi dalam interaksi kehidupannya, dimana Foucault tumbuh dan berkembang dalam keluarga dokter, dekat dengan praktik dunia medis.

Maka korelasi tersebut, sangat memungkinkan Foucault yang justru lebih mendalami sejarah, filsafat dan psikologi mendapatkan inspirasi penjelas dari bagaimana kekuasaan itu dilangsungkan dalam keseharian kehidupan kita, melalui apa yang telah terjadi dalam masa kekinian. 

Upaya Foucault untuk melihat tarikan sejarah dalam kerangka pemahaman kekuasaan, adalah upaya penemuan artefak pada arkeologi kehidupan kemanusiaan dimasa lalu.

Bahwa apa yang terjadi saat ini, dalam konteks kekuasaan, terhubung dengan apa yang terjadi dimasa lalu, meski mengalami keterputusan kontinuitas. Hal tersebut, kemudian dirangkai untuk dapat melihat secara utuh bagaimana kekuasaan berlaku dan bertindak. 

Foucault sendiri tidak berbicara tentang apa itu kekuasaan, tetapi tentang bagaimana bentuk kekuasaan berjalan dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat saat ini.

Dengan demikian, Foucault mencoba merumuskan bahwa kekuasaan bukan tentang persoalan bagaimana memiliki melainkan sebagai strategi yang dilakukan dan dipraktikan secara operasional ditengah-tengah publik. 

Model kekuasaan dari varian Marxis yang memandang negara sebagai representasi kelompok penguasa, tidak hendak diperdebatkan, tetapi yang kemudian menjadi objek telaah Foucault adalah tentang berbagai institusi yang berperan melanggengkan kekuasaan.

Pelembagaan Kekuasaan

Kini, kekuasaan tidak lagi bersifat konsentrik, tetapi terdesentralisasi kedalam berbagai bentuk formalisasi relasi sosial. Sebut saja klinik, rumah sakit, penjara, pendidikan bahkan aspek seksualitas menjadi panggung wilayah pertunjukan kekuasaan. 

Kegilaan dalam pandangan Foucault terjadi ketika diksi secara tegas tentang "gila" dan "kewarasan"dipisahkan, padahal pemisahan tersebut adalah sebuah kegilaan baru, disamping pendisiplinan untuk mewaraskan kegilaan, adalah ketidakwarasan.

Baik pada klinik maupun rumah sakit, lokasi ini menjadi ajang bagi tenaga medis untuk mewujudkan kuasanya pada si sakit. Pada ilmu komunikasi kita mengenal teori"compliance gaining theory", yang dimaknai sebagai pertukaran pengaruh atas kekuasaan yang dapat terjadi dikarenakan aspek (1) hierarki, (2) ekspertise dan (3) personal, maka pada pusat institusi medik hal itu mutlak terjadi.  

Kekuasaan menciptakan upaya mendisiplinkan, dengan tujuan ketertundukan, baik secara langsung dengan menggunakan represi fisik, maupun dengan cara-cara yang tidak disadari. 

Apa yang dimaksud Foucault tentang hal terakhir tersebut, selaras dengan Gramsci tentang hegemoni, dimaknai sebagai relasi kuasa dominan yang terjadi secara tidak langsung dan tanpa disadari telah terbentuk.

Maka memang, dalam pandangan Gramsci, sesuai dengan basis pemikiran Marx, basis struktur yang diisi oleh faktor ekonomi akibat penguasaan alat produksi akan ditopang oleh dua hal penting yakni pertama: RSA (Represive State Aparatus) berorientasi langsung pada tindakan represi fisik berupa hukuman, semisal pengadilan, penjara, dan aparatur keamanan, kedua: ISA (Ideological State Aparatus) yang berlangsung dibawah permukaan menguatkan kepentingan kuasa, semisal media massa dan pendidikan.

Wacana dan Keberadaan

Foucault tidak memahami kekuasaan secara kaku dan deterministik ala Marx, melainkan berpikir tentang dialektika hubungan yang dinamis antara pihak yang dominan dan kelompok yang tersubordinasi. 

Dalam konteks penguasaan secara langsung, maka terdapat peran negara dalam meregulasi sekaligus melakukan pengaturan masyarakat melalui legitimasi yang dimiliki, dikenal sebagai bentuk formasi sovereign power pada keabsahan hukum dan berbagai peraturan.

Tetapi hal itu tidak berjalan sendirian, dalam praktik kekuasaan, akan terdapat pula upaya untuk mendudukan subjek individu dalam kedisiplinan aturan, dengan pengunaan metode penundukan bersifat tidak langsung, yang disebut Foucault sebagai disciplinary power. 

Hingga pada akhirnya kemudian, meluas dalam jangkauan dan cakupan dalam bentuk govermentality, dengan tujuan sasaran dalah tubuh sosial yakni masyarakat dan bukan tentang individu perse individu.

Pada titik terakhir tersebut, kekuasaan kemudian berarti omnipresent, bersifat serbada dan dimana-mana, tidak lagi tunggal dan monolitik, karena pada realitas praktik sosial, maka kekuasaan telah menyelusup dalam berbagai bentuk kehidupan keseharian. 

Kerangka pembentuk struktur kekuasaan yang jamak tersebut, disebabkan kekuatan wacana dalam kepasitas pengetahuan. Dengan demikian, gagasan dominan, yang muncul bersamaan dengan keberadaan pengetahuan menjadi amunisi penguat kekuasaan.

Terdapat keterkaitan yang dialektik, antaraknowledge is power dan power is knowledge, dimana kekuasaan dan pengetahuan menjadi tidak terpisahkan.

Kekuasaan yang dominan akan mencatatkan diri dalam sejarah, lalu menjadi sebuah ilmu pengetahuan, dan pengetahuan adalah bentuk materialisasi sejarah dari kelompok pemegang kekuasaan. 

Lagi-lagi, analisa bernas Foucault, seolah membenarkan apa yang disebut Marx bahwafilusuf hanya mampu menafsir dunia tanpa dapat mengubahnya, terdapat keterlepasan dari aspek praksis, yang kemudian terjerumus untuk dapat verstehen -memahami danerklaren -menerangkan semata. Tetapi itulah sumbangsih Foucault!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun