Pada beberapa pekan terakhir ini, berita di berbagai media massa dipenuhi cerita yang berlumuran darah. Kekerasan fisik, kriminalitas dan kejahatan dengan kekerasan, terjadi seolah silih berganti. Motif yang menjadi pemicu kejadian pun berupa ragam.Â
Kekejian dan kengerian berlangsung silih berganti, bahkan cukup untuk membuat kita bergidik, serta berpikir ulang tentang keamanan kehidupan kita sendiri. Baik dalam bentuk kekerasan diruang privat, maupun ranah publik seperti tawuran pelajar, kerusuhan antar kampung, maupun bentrokan antar supporter.
Secara langsung maupun tidak langsung, efek pemberitaan media massa dapat membentuk sikap dan perilaku seseorang terhadap suatu tematik pemberitaan tertentu. Dalam hal ini, kekerasan menjadi barang konsumsi yang kemudian dieksploitasi, menimbulkan keingintahuan publik terkait dengan penjelasan dan penyelesaian suatu kasus, seolah bertindak layaknya detektif, motif dan pelaku kemudian ditebak-tebak. Kekerasan tersebut, membenarkan istilah Homo Homini Lupus yang mengungkapkan bahwa manusia menjadi serigala -predator bagi manusia lainnya.
Perhatian publik yang begitu tinggi, kemudian berjalan sejajar dengan produksi pemberitaan yang mengekspose kekeradan itu diranah publik. Problemnya, kekerasan kerap diilustrasikan secara vulgar diruang media, gambar korban, penceritaan alur rangkaian kekerasan secara gambling, justru bisa menimbulkan masalah baru. Dalam efek paparan, khalayak dapat bersikap (a) antipati serta terbiasa atas pemberitaan kekerasan yang terjadi secara berulang-ulang, atau (b) menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan.
Menguak Kekerasan
Meski pada akhirnya beberapa kasus dapat diungkap secara cepat oleh pihak berwenang, teta[I kriminalitas yang muncul ke permukaan melalui pemberitaan, tetap meresahkan. Dalam kajian (Burlian, 2016), kejahatan melawan hukum yang berlaku, berkategori kriminalitas menjadi bentuk dari patologi sosial dinyatakan sebagai penyakit yang dapat didekati melelaui berbagai pendekatan, diantaranya (a) aspek psikologi terkait dengan motif pribadi individual, (b) ranah sosiologis yang akan melihat gejala kriminalitas berkenaan dengan kerangka sosial masyarakat, dan (c) statistik sosial akan merelasikan angka kekerapan kejadian kriminalitas berdasarkan data.
Kita tentu harus mampu memahami, kekerasan adalah dua sisi dari wajah manusia. Baik dan buruk terdapat secara inheren dalam tubuh individu secara potensial, kemunculan sifat baik maupun buruk secara aktual dapat distimulasi melalui berbagai dorongan. Banyak sisi yang dapat mendukung terjadinya manifestasi kekerasan individual.Â
Pada teori pembelajar sosial, (Bandura, 1977), mengungkapkan bahwa manusia adalah individu pembelajar, dengan mengembangkan kemampuan untuk akan melakukan pengamatan, pencermatan dan menduplikasi sekaligus mengimitasi apa yang didapatkannya melalui interaksi pembelajaran tersebut.
Sehingga, kekerasan yang ditampilkan diruang publik dalam paparan insensitas yang tinggi dapat menciptakan terbentuknya ruang replikasi atas kekerasan itu sendiri, atau juga menimbulkan ketakutan yang sangat luar biasa, jika bingkai dari framepemberitaan menguatkan aspek kengerian yang terjadi. Pada kajian (Hendrati & Herudjati, 2008) tentang aneka sifat kekerasan, maka pola dalam pembentukan sifat kekerasan itu bisa terjadi baik secara individual, sistematik maupun struktural, termasuk diantaranya lemahnya aturan dan penegakan hukum terkait, dan pengabaian atas permulaan tindak kekerasan secara verbal maupun simbolik.
Refleksi Kekerasan
Bahkan dalam aspek kekerasan sekalipun, kita sebagai manusia yang rasional sesungguhnya dapat memperlakukannya secara reflektif, dengan mendapatkan makna mendalam atas kejadian tersebut. Khususnya, membangun peran dan partisipasi individu, dalam menekan munculnya hasrat kekerasan, yang sejatinya melekat dalam penjara tubuh manusia, untuk dapat direpresi dan mendapatkan saluran ekspresi yang positif.Â
Mungkinkah? Peran kritis individu harus difasilitasi lingkungan sosial dan negara sebagai representasi regulator yang diberi kewenangan pengaturan.
Kemampuan untuk melakukan relaksasi, mengambil waktu kontemplasi, memberi ruang privasi dan menghargai posisi yang berbeda mungkin hanya sedikit bentuk tindakan yang dapat dilakukan. Disisi yang berbeda, keberadaan ruang publik yang ramah dan membangun upaya bersama dalam tujuan-tujuan serta kepentingan bersama juga menjadi penting untuk dilakukan. Terutama dalam kondisi realitas politik akhir-akhir ini yang terpolarisasi secara kuat dan seolah tidak terdamaikan.
Seajtinya, dalam kerangka kolektif sosial, diluar faktor individual, berdasarkan (Maliki, 2016) dalam Sosiologi Politik, Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik, diketahui bila kemunculan kekerasan memiliki sejumlah syarat structural, diantaranya adalah; (a) terdapatnya degradasi kualitas lingkungan sosial, (b) terjadi ketimpangan distribusi sumberdaya material, dan (c) merupakan ekspresi dari bentuk keresahan dan ketidakpastian akan masa depan. Â Â
Dengan demikian, apa yang harus direformulasi? Penataan ulang dari lini kehidupan bersama harus benar-benar menjadi komitmen yang utuh, dari tingkat keluarga hingga sosial dan negara. Mungkinkah sifat dan karakter kekerasan dikelola? Tentu sangat bergantung pada bagaimana aturan main bersama dapat ditegakkan.Â
Ilustrasi sederhananya, binatang-binatang buas pada pertunjukan sirkus dapat menjadi mahluk yang berbeda dari sifat liarnya. Akankah domestifikasi, penundukan sifat kekerasan bersifat kekal? Tentu saja kita tidak dapat memastikannya, terlebih karena manusia adalah mahluk berpikir yang jauh lebih memiliki potensi kekerasan secara permanen, tetapi setidaknya kita telah berusaha!.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H